Senin, 10 Oktober 2011

Ayah, izinkan aku menikah..


Ada seorang teman yang mengeluh kalau ia dijodohkan sama perempuan yang sama sekali tidak ia kenal. Orangtua memang ingin yang terbaik buat anaknya. Tapi, perkara nikah! Anak juga punya hak untuk menentukan, minimal mengajukan pertimbangan.

Ada persepsi, ‘Cinta akan tumbuh dengan sendirinya setelah menikah’. Itu benar, jika memang keduanya saling cocok. Bagaimana jika pada akhirnya pasangan ini tidak ada kecocokan? Setelah menikah, bukan waktunya lagi untuk saling mengenal (ta’aruf), tapi waktunya untuk menyesuaikan diri satu sama lain. Karena itu, Islam mengatur proses perkenalan (ta’aruf) sebelum menikah dengan segala batasan-batasannya.

Pertanyaan utamanya, Bagaimana jika si anak sudah punya pilihan sendiri? 

Sebelum menjawabnya, mari kita lihat fenomena di sekitar kita. Coba bayangkan bagaimana pergaulan muda-mudi zaman sekarang! Berapa banyak perempuan yang terlambat menikah? Seberapa besar persentase kasus penyimpangan seksual yang sering kita saksikan di media? Belum lagi kejahatan dan pelecehan seksual yang terjadi di mana saja?

Ini semua adalah fenomena negative yang terjadi karena kurangnya social control pada masyarakat kita. Kita sudah mengenyampingkan dan menyepelekan fitrah manusiawi, yaitu keinginan seksual! Menurut ilmu kedokteran, hasrat seksual ini akan semakin memuncak sejak usia 18 tahun. Sementara, bila ada pemuda usia 18 tahun meminta untuk menikah kepada orangtuanya, pasti jawabannya, ‘tidak! Kamu masih kecil! Tunggu setelah tamat kuliah!’ Lalu, apa jawaban orangtua setelah anaknya tamat kuliah? ‘Tunggu sampai kamu dapat kerja!’.

Coba pikir, apa yang dilakukan pemuda-pemudi sejak umur 18 tahun hingga menjelang ia menikah, untuk menahan hasrat manusiawinya? Kita bisa saja menyarankan untuk berpuasa, menyibukkan diri dengan kegiatan positif seperti belajar, olahraga, seni, sastra dan lainnya. Tapi, itu semua tidak akan ampuh secara 100 persen dalam menghambat hasrat alami yang telah dikaruniakan Allah padanya tersebut.

Sebagian orang memang menganggap pernikahan dini itu kurang baik. Kalau kita lihat sejarah umat terdahulu. Rasulullah memanggil sahabatnya yang berumur 18 tahun ke atas dengan sapaan lelaki dewasa (rajul), dan sudah mengemban tanggungjawab besar. Salah satu contoh adalah Ibnu Zaid, ia telah memimpin pasukan besar sementara ia masih berumur 17 tahun.

Pada dasarnya, pola sosial dalam masyarakat kita sendirilah yang membentuk generasi muda manja dan terlambat dewasa. Bila kita lihat di negara barat, seperti di Eropa dan Amerika. Pemuda umur 18 tahun umumnya sudah memikul tanggungjawab besar, rata-rata mereka sudah mandiri dan tinggal terpisah dengan orangtuanya. 

Sebenarnya, segala persoalan di atas telah disederhanakan solusinya oleh Rasulullah ratusan abad silam. Rasulullah bersabda, Apabila ada seorang pemuda yang menurut kalian sudah baik akhlak dan agamanya. Maka, mudahkanlah ia untuk menikah! Jika tidak, akan timbul fitnah dan kerusakan besar di muka bumi.’(HR. Turmizi)

Keluarga, dalam hal ini adalah orangtua, memegang peran besar dalam menikahkan anaknya. Bila anak sudah memiliki pasangan dan siap menikah, maka nikahkanlah mereka. Ini bukan nasehat saya, melainkan nasehat Rasulullah saw dalam sebuah hadits; 

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah; wahai Rasul, aku mempunyai anak gadis, telah datang dua orang pemuda untuk melamarnya. Yang satu pemuda miskin dan yang satunya pemuda kaya, dan masalahnya putriku ini mencintai pemuda miskin! Lalu, Rasulullah berkata ; tidak ada solusi terbaik bagi muda-mudi yang saling mencintai, kecuali nikah.’ (HR. Ibnu Majah)

Jelas sudah, Rasulullah sendiri telah menegaskan, bahwa obat paling mujarab bagi penyakit cinta dikalangan pemuda adalah nikah! Jadi, kembali ke pertanyaan semula, bila anak sudah ada pilihan sendiri? Asalkan baik akhlak dan agamanya, jawabannya adalah.. NIKAHKAN MEREKA!

Jazk ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar