Kamis, 15 Maret 2012

Seseorang yang Menjelma Malaikat

Ketika lembaran ini membatasi ruangku untuk bercerita tentang seorang manusia yang menjelma malaikat, maka tak ada lagi nama yang kutuju selain namamu.
Yah, bukankah hidupku adalah pertaruhan nyawamu? Dan senyum yang terlukis di wajahku adalah karena tangismu?

Selayaknya matahari, seperti itulah dirimu.


***
Sebelum aku mencipta rangkaian kata pada halaman ini, aku telah lebih dulu sadar jika aku takkan mungkin sanggup untuk melukis kisah kini secara sempurna. Bukan aku tak mampu mengisahkannya, tapi terlebih karena aku takkan mungkin sanggup melukiskan kesempurnaan cinta yang tersaji dalam bentangan kisah ini.

Sembilan belas tahun lalu aku terlahir di ruangan serba putih. Di antara butiran keringat yang membanjir serta di tengah anyir darahmulah aku terlahir. Tapi kau tak berdendam atas  rasa sakit yang kau rasakan demi melahirkanku. Kau malah meraihku dan menjatuhkanku ke dalam pelukanmu. Kau tidurkan aku di dadamu dan kau biarkan aku mendengarkan lagi detak jantungmu yang kurasa penuh dengan kebahagiaan dan rasa syukur.
Lalu, saat aku telah menjadi bocah kecil dengan gigi kelincinya yang baru tumbuh, kau selalu mengacuhkan cucian yang terlanjur menggunung, bahkan membiarkan rumah yang sedikit berantakan demi menemaniku bermain boneka. Kau menuruti saja apa yang aku perintahkan.
“Mamah, jadi Kakaknya, ya?” kataku. Dan kau menuruti. Kau selalu membiarkan dirimu menjadi kanak-kanak lagi demi membuatku merasa nyaman. Dan saat itu, aku merasa jika kaulah sebaik-baik sahabat yang kumiliki.
Setiap ada kesempatan, kau selalu menceritakanku pada siapa saja yang kau temui. Kau ceritakan bagaimana aku bisa makan sendiri tanpa bantuanmu, kau ceritakan bagaimana lucunya aku ketika tersenyum, dan kau ceritakan pula aku yang sudah fasih membaca bacaan ruku. Ternyata bukan hal yang sulit untuk membuatmu bangga. Cukup menjadi bocah yang menggemaskan dan hapal bacaan ruku yang pendek.
Aku ingat, ketika aku telah mengenakan seragam merah-putih, malam hari bukan aku yang sibuk bercengkrama dengan huruf dan angka, tapi kaulah yang lebih sibuk. Menjelaskan ini itu padaku, sementara aku malah asyik nonton tv. Kau marah? Tentu saja. Karena kau langsung mematikan tv begitu tahu mataku tak lepas darinya.
Suatu hari pernah aku merengek padamu agar kau segera mengecilkan baju seragamku yang kebesaran.
“Iya, sebentar, ya, Teh. Mamah masak dulu,” katamu saat itu. Aku mengangguk.
Sampai malam tiba kau tak kunjung mengecilkan seragamku. Aku merajuk lagi. Kukatakan padamu jika seragam itu harus aku pakai besok. Kau mengiyakan, tapi lantas mencari uang receh dan balsem di lemari. “Bapak masuk angin, sebentar, ya.”
Aku menungguimu yang mengerok punggung Bapak. Sampai terlihat beberapa garis merah di punggung Bapak, aku tertidur. Mataku terlalu lelah untuk kembali menunggu. Sampai pagi datang, aku belum melihatmu mengecilkan baju seragamku. Namun, ketika aku hendak merengek lagi, kulihat baju itu telah rapi tergantung di pintu lemari. Aku tertegun, kapan kau menyelesaikannya?

        Setiap hari kau selalu bangun lebih awal, pukul 3 pagi. Di waktu paling baik untuk menemui-Nya. Aku mendengar gemericik air di kamar mandi, lalu tak lama setelahnya terdengar lantunan takbir dari kamarmu. Aku mafhum, inilah kebiasaanmu ketika malam hampir habis. Sementara aku, kembali menarik selimut dan melanjutkan angan-angan yang sempat terputus. Entahlah, kurasa air akan sangat dingin saat ini.
Malam sebelumnya aku sempat menguping perbincanganmu dengan-Nya. Dan malam kali ini, jujur aku kapok. Aku tak mau menangis lagi setelah mendengar apa yang kau katakan pada-Nya.
Ya, Robbi. Sebaik-baik dzat yang melindungi. Lindungilah anak-anak hamba ketika mereka jauh dari hamba, karena sungguh, penglihatan hamba terbatas, namun penglihatan-Mu tidak. Aku titipkan anak-anakku kepada-Mu. Lindungilah mereka, berikanlah mereka kebahagiaan”.
Pyar! Sampai detik itu, pecahlah pertahanan di kelopak mataku. Hatiku benar-benar bergetar mendengarnya. Seperti ada listrik bervoltase besar yang menyetrum ulul hatiku. Air mataku luruh seketika.

        Kau bukan wanita kuat. Kau sama seperti wanita-wanita lain yang akan menangis jika tersakiti. Aku tahu itu. Tapi ketika di depanku, kau akan sekuat tenaga menguatkan hatimu tak peduli sehancur apa pun hatimu saat itu. Lima tahun lalu saat kau menangis di depan Bapak, aku tahu jika hatimu sedemikian rapuhnya. Kala itu Paman dan Bibi bahkan para tetangga tega mencap dirimu istri yang tahu diri. Istri yang tak mengerti keadaan suaminya. Istri yang tak tahu diuntung. Tapi aku sadar, akulah penyebabnya, yah, aku yang membuatmu terluka saat itu. Dengan besar hati kau tetap mengijinkanku untuk melanjutkan sekolah ke SMA meski kau tahu keadaannya sungguh tak memungkinkan. Sebenarnya, aku atau kaulah yang tak tahu diri? Mungkin aku, mungkin juga kau. Aku, saat aku bermimpi aku memang tak tahu diri, atau lebih tepatnya lupa siapa diriku. Aku lupa jika sebenarnya aku adalah anak tukang kayu yang penghasilannya tak lebih dari 25 ribu perhari. Dan aku lupa, jika pada nyatanya mimpiku terkungkung oleh keadaan dan keterbatasan. Dan kau, mungkin juga kau lupa siapa dirimu saat kau ingin mewujudkan mimpi anakmu. Yang ada di pikiranmu hanya bagaimana caranya agar ada segaris senyum yang terlengkung di parasku.
Pada akhirnya, kau lebih memilih dirimu jadi bahan cercaan orang daripada menghancurkan mimpiku, anakmu. Lihatlah! Selama tiga tahun ini, aku bisa dengan leluasa memakai seragam putih-abu. Dan itu berkat pengorbananmu, doa-doamu, dan berkat Bapak yang kau kuatkan hatinya.
Mungkin aku keliru menudingmu wanita lemah. Bukankah begitu, Mah?

November 2010

     “Teh, mau nggak Mamah jodohkan sama adiknya temen Mamah? Dia laki-laki yang baik, soleh, dan bertanggung jawab. Teteh tahu kan, sekarang dia bisa kuliah tanpa menyusahkan orangtuanya? Itu tandanya dia bisa bertanggung jawab, minimal untuk dirinya sendiri.” Panjang lebar kau menceritakan laki-laki yang kau maksud.
Aku diam saja, hanya sesekali tersenyum ke arahmu. Jujur, belum terbersit sekali pun keinginan untuk menikah. Seperti kukatakan di awal tadi, aku ingin membahagiakanmu dulu. Apalagi setelah menikah, aku harus memindahkan posisimu di hatiku menjadi nomor dua setelah laki-laki ynag meminangku. Tapi perkataanmu selanjutnya, benar-benar membuat hatiku bergetar.
“Mamah pengen Teteh cepet nikah supaya Teteh bisa dapat kebahagiaan. Mamah sadar, Mamah belum bisa membahagiakan Teteh. Makanya Mamah pengen ada seseorang yang bisa membahagiakan Teteh lebih dari Mamah.” Air matamu luruh.
Jika kalian berada di posisiku apa yang akan kalian lakukan?
Meskipun aku selalu menyusahkanmu? Meskipun kau selalu mengalah demi kebahagiaanku? Kau bilang itu belum cukup untuk membahagiakanku? Lalu seindah apakah bahagia yang ingin kau berikan padaku, Mah?

April 2011
      “Saya terima nikahnya Aisyah Al Farisi binti Dana dengan mas kawin tersebut tunai!”
Butiran bening ini tak bisa lagi kutahan. Setelah lama berjejal di kelopak mataku, akhirnya merembes melalui sudut-sudut mata. Hatiku bergemuruh hebat. Benarkah nama perempuan yang disebut dalam kabul tadi adalah namaku? Aku benar-benar tak bisa melukiskan perasaanku saat ini.
Kau yang sedari tadi menangis, menghambur kepelukanku. Erat kurasakan pelukanmu.
“Sekarang Teteh sudah sudah menikah,” katamu lirih disela isak tangis. Aku hanya mengangguk kemudian menghirup dalam-dalam aroma tubuhmu, perempuan yang telah menggadaikan hidupnya demi kelahiranku.
Jika aku ditanya tentang seorang perempuan paling kuat yang pernah kujumpai dalam kehidupanku, maka jawabannya adalah KAU. Jika aku ditanya tentang seorang perempuan yang doanya, ucapannya, dan perkataanya mewujud kebahagiaanku, maka jawabannya juga KAU. Dan jika aku ditanya tentang seorang perempuan yang di sisa umurnya ingin kubahagiakan, maka jawabannya sudah tentu KAU. Ibu yang telah melahirkanku. Ibu yang telah menguras peluh untuk membesarkanku. Ibu yang menuntunku untuk mengenal-Nya. Dan ibu yang rela menangis demi kebahagiaanku.

Kau mencintaiku selayaknya matahari mencinai semesta
Tak pernah lelah berbagi hangat
Tak pernah lelah menebar janji kehidupan
Kau mencintaiku selayaknya matahari mencintai semesta
Hingga ketika dirimu tak ada
Sinarmu tetap berpendar terang
Selayaknya matahari yang menitip hangat pada bulan saat malam menyeretnya pulang


Tulisan ini diikut sertakan dalam Giveaway The Fairy and Me yang diselenggarakan oleh Nurmayanti Zain



Tidak ada komentar:

Posting Komentar