Rabu, 05 September 2012

Ke-Acehan Perempuan Aceh

Di sebuah warung bakso, daerah Banda Aceh. Seorang pramusaji menghampiri saya dan bertanya, “Mau pesan apa Mas?” 

Sekali lagi saya pandang wajah itu lekat. Lalu, pandangan berpindah ke seluruh ruangan. Kemana perginya perempuan Aceh yang selalu saya kagumi sepuluh tahun silam. Perempuan Aceh yang tangguh, cerdas dan teguh imannya. Lembut, santun, namun tetap berkarakter bahasanya. Sopan dan sederhana penampilannya namun tetap elok di pandang mata.

Kali ini mata saya tertuju pada sekelompok anak muda, sekitar tujuh remaja tanggung. Sekelompok muda-mudi. Perilaku ‘cuek’ mereka tunjukkan lewat cara berpakaian, cara berbicara dan bertatap-tatapan, sesekali cekikikan dan serunduk-serundukan. Hati ini miris melihat anak sekolahan seperti mereka masih berkeliaran malam-malam begini. 

Casio digital di pergelangan tangan menunjukkan Pukul 22.16. Saya melenguh sambil mengusap wajah dengan kedua belah tangan. Si pramusaji ikut mengusap wajah dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang daftar menu.

Jika kita menoleh ke belakang, sekitar tiga-empat abad silam. Saat itu peran perempuan dalam pemerintahan di kerajaan Aceh sangat besar. Hal ini pernah diakui oleh P.J. Veth, seorang profesor di bidang etnologi dan geografi Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1870 Veth menulis sebuah artikel yang berjudul, “Vrouwen Regeringen in den Indesche Archipel” (Pemerintahan Perempuan di Kepulauan Nusantara), artikelnya dimuat dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI)

Veth mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan figur perempuan yang memerintah di Nusantara. Yang harus digaris bawahi adalah ungkapan Veth selanjutnya, “Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan perempuan di Nusantara adalah Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah!” 

Sangat kontras dengan putri-putri Aceh yang ada di hadapan saya saat ini. Saya melirik pramusaji itu sebentar, ia mungkin kesal dengan sikap saya. Kedua alis matanya bertaut. Pikiran saya kembali berkelana.

Bukan sebuah ‘romantisme sejarah’. Tapi, kita berharap warisan keagungan peradaban Aceh terdahulu bisa memberikan kontribusi pemikiran dan penyadaran terhadap generasi kini. Sehingga seatu saat, mungkin tidak lama lagi, akan terjadi ‘kelahiran kembali’, sebagaimana peradaban barat lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani – Romawi. “With disintegratio, kata Tonybee, comes rebirth”.

Bagaimana dengan Aceh? Apakah ‘tengkorak-tengkorak’ dari peradaban Aceh yang gemilang sudah lebur dengan tanah atau menjadi debu yang diterbangkan angin, hingga begitu ringkih dan tidak mampu untuk ‘lahir kembali’? Di mana perempuan Aceh yang seharusnya menjelma menjadi Ibu yang melahirkan peradaban baru itu? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak saya, kening ini berkerut. Dan kening pramusaji itupun ikut berkerut.

Dalam hati saya berharap, di luar sana. Di beranda rumah, di meunasah, di ruang kelas, di aula kampus, di kantor pererintahan, di balai desa, di rumah sakit, di pasar hingga di sawah, semoga masih banyak srikandi Aceh setangguh Malahayati dan seteguh Iman Cut Nyak Dhin. 

Teringat sikap Cut Nyak Dhien, ketika jari Letnan Van Vuuren menyentuhnya dalam perebutan senjata. Cut Nyak Dhien berseru, “Jangan kau menyinggung kulitku, kafir! Jangan kau nodai tubuhku!” Sayapun manggut-manggut takjub dalam hati, Sang Pramusaji malah geleng-geleng kepala.

Kata-kata Ibu sebelum saya berangkat menuntut ilmu ke Jakarta kembali terngiang, “Nyan bek ka mita peurumoh hideh! Di Aceh get that jai dara mameh yang jroh keu peurumoh!”Sayapun tersenyum, akankah ibu-ibu Aceh saat ini masih berpesan seperti itu pada anaknya yang akan merantau? 

“Mas, ditanya kok bengong sih, senyum-senyum sendiri lagi! Capek deh...” Si pramusaji menegur saya dengan bahasa yang ‘dipaksakan’ gaul itu. Saya kaget campur geli dengar dialegnya. 

“Bang!! Peu ilee neu peusan?!” Serunya lantang. Kali ini saya tertawa kecil,  karakter Acehnya keluar juga, hehe.

Si pramusaji menggigit bibir atasnya pertanda memohon jawaban segera. 

“Bakso tok, tampa ngen teh dingin beh!

Laksamana Malahayati


Banda Aceh, -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar