Senin, 21 Maret 2011

Aku menemukannya di DIWEM


Apakah dengan memperoleh segala hal yang kita inginkan di dunia ini, lantas kita bisa dikatakan bahagia? Atau ada pengertian lain tentang kebahagiaan itu sendiri? 

Katakanlah indikator-indikator kebahagiaan yang telah menjadi kesepakatan umun, di antaranya; harta yang melimpah, kesehatan dan awet muda, popularitas, isteri cantik, dan anak – anak yang lucu.

Elvis
Elvis Presley memiliki semua itu, tapi bagaimana kondisi kematiannya? Elvis meninggal di kamar mandi mewahnya karena over dosis. Apakah Elvis bahagia? Saya yakin siapapun yang pernah membaca sejarah hidupnya, berkesimpulan bahwa Elvis tidak bahagia.

Jadi di mana letak kebahagiaan itu?

Kesalahan Elvis dan sebahagian besar dari kita adalah mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Seorang pemuda beranggapan jika bisa menikahi gadis yang dicintainya, maka ia akan menjadi orang paling bahagia di dunia. Seorang pengusaha meyakini bila memenangkan sebuah proyek besar ia akan menjadi pengusaha paling bahagia di dunia. Kita sering kali mencari kebahagiaan di luar diri kita sendiri. Dan setelah memperolehnya, kita masih merasa belum cukup bahagia. Kebahagiaan yang disandarkan pada hal-hal yang bersifat duniawi tidak akan ada habisnya.

Aku menemukannya di Diwem..

Senyum anak-anak kampung ini selalu mengembang. Tidak ada playstation, tidak ada televisi, tidak ada water boom ataupun mandi bola. Satu-satunya hiburan mereka adalah bermain dengan keledai dan mandi di sungai. Makan sederhana, tidur seadanya, namun hari-hari mereka penuh tawa. Tak perlu rumah mewah, tak perlu mobil mewah, toh mereka merasakan kebahagiaan itu. 

“kebahagiaan itu ada di sini” kata si bungsu Ahmad sambil menunjuk kepalanya.

Masuk akal memang, kebahagian itu apa yang kita pikirkan. Kalau kita merasa cukup dan mensyukuri apa yang ada (qana’ah). Maka, pikiran kita akan merespon positif, dan hati akan menangkap respon positif tersebut sebagai stimulan yang membentuk rasa tentram dan kedamaian hati.

Para filosof, ulama, dan cendikiawan telah sepakat bahwa kebahagiaan hakiki bersemayam di dalam jiwa bukan di luar. Kebahagiaan yang sebenarnya ada pada Kedamaian yang kita rasakan di dalam hati (Salam ad-dakhily / inner peace).

Bila kita ingin membedakan antara orang bahagia dan yang tidak bahagia, maka lihatlah ketika ia ditimpa musibah. Orang yang bahagia biasanya tidak akan larut dalam kesedihan saat ditimpa musibah. Sedih adalah manusiawi. Namun, janganlah sampai berkepanjangan hingga mengarah pada sukap putus asa. 

Lain halnya orang yang tidak bahagia. Saat ditimpa musibah ia akan mudah kehilangan kendali. Mencari pelampiasan negatif seperti lari ke narkoba, judi bahkan hungga yang terparah, nekat bunuh diri. 

Karena itu lah dalam Al-Qur’an, kata-kata kedamaian (salam) diulang-ulang hingga 31 kali. Sedangkan kata kebahagiaan (sa’adah) hanya muncul dua kali, itupun pada ayat yang menceritakan tentang surga. Karena, kebahagiaan abadi hanyalah di surga kelak.

Ada ungkapan indah Ibnu Taimiyah yang menggambarkan keteguhan hatinya : 

“Apapun yang diperbuat orang-orang yang menentangku, aku meyakini surgaku terletak di hati, surga itu ikut kemana saja aku pergi. Bila aku diusir dari suatu daerah, maka aku akan pergi. Anggap saja itu adalah kesempatan baik untuk mengenal lebih jauh bumi Allah yang luas ini. Bila aku di penjara, maka itu waktu baik untukku agar bisa menyendiri dengan Tuhanku. Apabila aku dibunuh, semoga matiku sebagai  shahid”

                                            Untuk sahabat-sahabat kecilku di Diwem, sebuah perkampungan kecil di pinggiran Sudan..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar