Rabu, 02 Februari 2011

Wisata Demonstrasi (Cairo, Mesir)















Wisata, kedengarannya memang naif di tengah musibah yang sedang terjadi. Namun, mozaik kerusuhan di Mesir saat ini, menjadi wahana hiburan tersendiri yang memicu adrenalin. Sama halnya kita menggigil ketakutan saat berada di Rumah hantu atau berteriak histeris saat naik Halilintar di Dunia Fantasi. Karena itulah saya menyebutnya wisata demonstrasi, atau bila di generelisasikan lagi, sebut saja wisata politik. Karena secara tidak langsung, trik dan intrik politik dalam situasi rusuh ini menarik untuk disimak.
Bagi warga Mesir saat ini, meninggal dengan tenang di atas ranjang hanyalah bagi pengecut. Setiap orang berebut ambil peran dalam proses reformasi ini. Begitu besar euforia reformasi di Mesir. Sejak tanggal 25 Januari yang lalu, pohon-pohon, burung-burung, batu-batu, semuanya membisikkan kata yang sama, ‘Reformasi’.
Niat hati ingin keluar dari kerusuhan di Sudan, malah terjebak dalam kerusuhan Mesir. Itulah yang kami alami sekarang. Apa boleh buat, planing untuk beberapa hari ini terancam batal karena situasi yang tidak terduga. Namun, naluri laki-laki ini terus menghasut,”Ngapain di kamar? Ini kesempatan menjadi saksi sejarah! Ayo keluar...!”
 Akhirnya,  Jum’at, 28/01 kemarin kami nekat keluar flat. Tujuan kami adalah Tahrir, wilayah gedung parlemen yang menjadi sasaran utama para demonstran. Metro hari itu sunyi penumpang. Cuma ada beberapa pemuda yang krasak-krusuk, sepertinya demonstran yang ketinggalan kereta. Melalui pengeras suara di setiap stasiun diumumkan bahwa Metro tidak berhenti di dua stasiun, Stasiun Anwar Sadat dan Jamal Abdul Nasir. Kedua stasiun itu memang mengarah langsung ke Tahrir, gedung parlemen yang menjadi titik konsentrasi massa itu berada disana.

Kelompok pemuda tadi makin terlihat kalut, mereka turun di Stasiun Damerdesh. Kamipun ikut turun, dari Damerdesh masih ada harapan menembus Tahrir menggunakan angkutan lain. Ternyata di luar dugaan, jalan-jalan protokol di Damerdesh telah dipenuhi massa demonstran. Mereka konvoi dengan berjalan kaki ke arah Tahrir sambil meneriakkan yel-yel;
 ‘Nihna sya’b.. kifayah! Haram..!!’
‘Nihna sya’b.. kifayah! Haram..!!’  
 ‘Inzil ya mashry, inzil! Inzil! Inzil!”
‘Yasqut Mubarak wa ahluh..!!’
Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya kami sepakat mengikuti alur demonstran dengan berjalan kaki. Tentunya kami jaga jarak, paling tidak, bila tiba-tiba keos, ada celah untuk menghindar dari celaka.
Memasuki wilayah Ghamra, mata  mulai perih dan berair, kami terkena gas air mata. Massa berbalik arah secara teratur. Siapa yang tahan dengan gas air mata?  Untuk sesaat massa berkonsentrasi dengan anggotanya yang lumayan parah terkena efek gas air mata.
Dalam situasi seperti ini kami menyaksikan fenomana sosial dengan toleransi yang begitu tinggi. Para ibu terlihat membagi-bagikan tisu basah dan ramuan bawang untuk pereda perih di mata. Ada juga mobil pribadi yang difungsikan sebagai klinik berjalan. Di setiap flat, bergantungan makanan yang diikat dengan tali dan terjulur ke bawah (seperti adegan Maria menjulurkan Jus Mangga untuk Fahri di Ayat-ayat Cinta), sebagai bekal yang disediakan sukarela oleh penghuni flat bagi para demonstran. Kelompok anak perempuan membagi-bagikan air mineral di sepanjang jalan, sedangkan anak laki-laki mengumpulkan bebatuan lalu ditumpuk di tempat-tempat strategis. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat itu...?
Tiba-tiba massa berhamburan tak tentu arah! Terbayang akan keos, kami kabur ke arah metro. Sekarang metro sudah tidak menggunakan karcis lagi alias gratis, kami menumpang metro arah Ramsis. Stasiun Ramsis sudah penuh dengan gas air mata. Sambil melawan perih, kami terus berjalan ke luar stasiun. Suasana di luar stasiun sudah kacau balau. Kami menyaksikan langsung enam unit mobil patroli yang dibakar massa saat itu. Namun sepertinya brikade pagar betis di perbatasan Ramsis dan Tahrir sangat sulit ditembus. Massa terlihat kocar-kacir setelah beberapa kali terdengar suara tembakan. Sampai disini polisi anti huru-hara Mesir masih bersabar, tembakan diarahkan ke udara. Kami mundur dan bersembunyi di dalam stasiun bawah tanah, khawatir terkena peluru nyasar.
Cukup lama juga kami di Ramsis, sambil terus membaca situasi. Malam semakin larut, massa pun sedikit-demi sedikit mulai bubar. Hingga dini hari, pertahanan di Tahrir tidak mampu ditembus gelombang pengunjuk rasa. Hari ini disebut-sebut sebagai yaumul ghadhab (hari kemarahan).
Melalui siaran langsung di televisi yang kami tonton di sebuah math’am (rumah makan), diberitakan korban meninggal 3 orang dan luka-luka mencapai 870 orang, lalu Husni Mubarak memberikan ultimatum, bahwa mulai besok akan diberlakukan jam malam, “Seluruh masyarakat dilarang berkeliaran mulai pukul 04.00 sore hingga pukul 08.00 pagi”
Huff...!! Cape dech....(Fhr) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar