Memang masalah klasik sih, tapi apa mau dikata? Sampai sekarang masalah kebersihan tetap saja menjadi masalah terbesar di Dunia pada umumnya, dan Dunia Arab khususnya! Kata ‘bersih’ masih asing dari kehidupan di Dunia Arab. Para ahli sejarah dan antropolog beranggapan bahwa pengaruh budaya padang pasir yang begitu melekat, membentuk perilaku ‘cuek’ mereka terhadap kebersihan.
Bisa dibayangkan kehidupan padang pasir dahulu, mereka sudah terbiasa dengan pasir yang melekat di badan, mandi hanya saat turun hujan atau menemukan oase (mata air di padang pasir). Buang hajat kecil maupun besar di alam terbuka dan ber-istinjak dengan batu karena tidak ada air. Budaya yang jauh dari sumber air ini membentuk peradaban kotor. Dan peradaban kotor ini belum hilang seratus persen hingga saat ini, meskipun sudah ada teknologi untuk mendatangkan air.
Sampah di mana-mana, meludah dan buang air kecil sembarangan. Hingga muncul istilah, kullu jidar hamamat (setiap dinding adalah toilet). Tentang buang air kecil ini ada sebuah cerita lucu yang masyhur di Mesir. Cerita ini menceritakan kisah pertemanan antara mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan mantan presiden Amerika G.W. Bush. Tapi, lain kali saja lah saya ceritakan. (hehe.. biar penasaran dikit..)
Kondisi kebersihan di Sudan masih mendingan dibanding Mesir. Bisa jadi, karena traffick kehidupan Sudan belum sesibuk Mesir yang disebut-sebut sebagai Eropanya Afrika. Jadi teringat suasana reformasi di Mesir beberapa waktu yang lalu. Kebetulan saat itu saya sedang berada di sana, dan saya menyaksikan langsung saat Kota Cairo nyaris tenggelam oleh lautan sampah, karena dinas kebersihan meliburkan pegawainya selama demonstrasi yang berlangsung lebih kurang dua pekan itu.
Sudan memang masih natural, lahan pertanian dan peternakan yang luas banyak kita temukan di pedesaan. Kalau ingin merasakan adventure atau punya hobi backpacker, cobalah bermalam di padang pasir sabana dan stepa, keduanya tergolong padang pasir yang masih perawan di sudan. Dijamin kapok! ^^
Dengan kondisi seperti ini, masyarakat Sudan juga kurang menghargai kebersihan. Untuk akses air bersih, mereka bergantung penuh dari air sungai nil. Air nil tersebut mereka gunakan mulai dari kebutuhan bersih-bersih hingga diminum langsung, tanpa dimasak terlebih dahulu. Akibatnya, dinas kesehatan Sudan mencatat ada tiga penyakit yang paling banyak di derita masyarakat sudan, yaitu infeksi lambung, struk dan busung lapar. Dan ketiganya berawal dari kandungan air nil yang ternyata mengandung zat kapur dengan kadar tinggi.
Secara berangsur-angsur, semoga Bangsa Arab akan menyadari bahwa bersih itu indah dan sehat. Untuk saat ini, suasana bersih sudah dapat kita lihat dan rasakan di gedung-gedung mewah seperti di mesjid-mesjid, sebagian kampus, hotel, apartemen, restauran, mall dan kantor-kantor swasta. Taman-taman buatanpun mulai tampak di tengah-tengah kota. Tinggal bagaimana caranya menghilangkan budaya acuh terhadap kebersihan yang diwarisi dari menek moyang mereka, para pengembara padang pasir itu.
Lantas, bagaimana dengan kita di indonesia?
Apakah masyarakat kita sudah menghargai kebersihan?
Mudah-mudahan sudah, karena kebersihan itu sebagian dari iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar