Tampilkan postingan dengan label Cerpen Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 April 2013

Dalam Duka, Kutemukan CintaNya



Gemuruh petir yang menyambar sore itu disertai angin kencang. Rintik hujan pun berjatuhan. Kini cuaca gelap dan menakutkan. Namun suara petir dan hujan tak mampu menutupi huru hara kala itu. Suaranya terdengar dari kejauhan seolah mengadu pada sang alam.

“ Sudah Bapak bilang, jangan keluyuran  hingga malam hari ! ini sudah kesekian kalinya kamu tak menggubris kata-kata Bapak !” Mata merah saga tersebut masih memandang tajam sesuatu di hadapannya.

“ Apaan sih Pak ! kan cuma pulang malam saja kenapa dijadikan masalah”. Suara wanita tersebut tidak kalah tanding, lebih runcing dan lembut.

“Beraninya kamu membantah !” Raut wajah lelaki tua itu berubah geram. Telapak tangannya kini telah siap mendarat di pipinya, hampir saja.   Entah malaikat apa yang menyelusup membuat tangannya tak tega menampar paras sang putri.

Ibu yang semula tertidur lelap sontak terbangun karena mendengar suara bising yang ditimbulkan dari ruang tamu. Seakan sudah tau apa yang terjadi dan tanpa berucap sepatah katapun Ibu menepuk pundak lelaki tua itu yang tak lain adalah suaminya, lalu menenangkan seraya membawanya pergi dari ruang tamu.

Namun kondisi suaminya berubah, wajahnya mendadak pucat dan tangannya masih mengusap-usap dadanya yang nampak sakit. Ibu bergegas mengambilkan segelas air hangat untuk Bapak yang keadaannya sedang memburuk. Ibu khawatir penyakit asma Bapak kembali kambuh.

“Sing sabar Pak’e . . . . pasrahne sedoyo kagem Gusti Allah”. Tutur Ibu lembut, tanpa terasa pipinya telah basah dengan tangis kesabarannya.

Semenjak masuk Sekolah Menengah Atas, putrinya memang sering keluar malam. Padahal jadwal sekolah dan bimbelnya baru selesai usai petang menjelang. Bapak dan Ibunya sudah bersusah payah membiayai segala kegiatan formal dan non formal putrinya, petuah demi petuah juga tak luput dicurahkan semata agar buah hatinya bahagia dunia dan akhirat kelak. Tetapi putrinya malah jauh dari apa yang diharapkan.

            Di tengah keadaan Bapak yang berangsur membaik, air mata Ibu wanita itu masih berlinang ketika mencoba menasihati Bapak yang sedari tadi masih kesal. Ibu tahu, walaupun sedang kesal Bapak tetap menyayangi putrinya. Ibu sepertinya lelah jua menghadapi putrinya tersebut, namun Ibu tak putus asa berusaha dan berdoa agar putrinya kembali kejalanNya. Tak putus-putusnya Ibu menasihati Bapak untuk selalu berdoa supaya apa yang dilakukan anaknya tetap dalam lindungan Allah Swt. Dan mengingatkan Bapak untuk tidak memberi julukan yang buruk bagi sang putri karena khawatir akan menjadi doa yang buruk pula.

Jangan mendoakan keburukan (mengutuk) dirimu, atau anak-anakmu, atau pelayan-pelayanmu (karyawan-karyawanmu), atau harta-bendamu, (karena khawatir) saat itu cocok dikabulkan segala permohonan dan terkabul pula doamu. (Ibnu Khuzaimah)

Dari balik tirai wanita itu melihat Bapak dan Ibunya menangis dan menyebut namanya. Mungkin lebih tepat jika menyebutnya “tidak punya hati”, karena wanita itu kian menganggap dirinya yang paling benar sehingga tidak ada lagi yang  melarangnya untuk keluar malam bersama cintanya yang belum halal.

Wanita itu adalah aku, Huwaidah. Panggil saja aku, Uwie. Aku sangat menikmati hari-hariku sebagai remaja. Bebas ! Ya, masa remajaku kala itu identik dengan kebebasan. Aku benci bila Ibu dan Bapak selalu melarangku untuk keluar malam. Apalagi ketika malam minggu. Aku tidak ingin menjadi remaja cupu. Rasanya aku bosan jika masa remajaku hanya diisi dengan rutinitas sekolah saja. 

Setiap malam ku lalui bersama teman sekelasku. Dia begitu tampan, keren dan menurutku ia juga cowok idaman bagi teman-teman seusiaku di sekolah. Tak salah kan kalau aku menjadi salah satu wanita yang mengharapkan cintanya. Dan memang akulah yang terpilih untuk menjalin ikatan dengannya. Kami berpacaran tiga bulan yang lalu. Haris benar-benar telah mengubah hidupku.

Cinta sebelum halal yang pernah aku rasakan memang membuatku bahagia. Sampai-sampai aku dibuatnya lupa atas kebesaranNya. Aku sadar jikalau cinta yang ku alami membawa dampak buruk bagiku. 
 
***

“ Aku menyesal, andai waktu dapat terulang lagi, kak !” 

“ Sudahlah dik, la tahzan. Yang terpenting Uwie yang sekarang berbeda dari yang lalu”. Suaranya sebening embun, siapapun yang mendengar pasti akan merasakan kesejukannya. Dalam tangisanku, aku merasa sangat mengagumi sosok Kak Syifa yang ku kenal sebagai wanita yang shalihah itu.

Kak Syifa adalah mentorku. Pertemuan di kampus sore ini khusus untukku dan Kak Syifa saja, karena kami akan membahas jadwal mentoring untuk pertemuan selanjutnya. Tanpa disangka usai menyusun jadwal kami saling bercerita tentang awal mula kami merasa dekat dengan Illahi Rabbi, Sang Pemilik Hati Manusia. Namun baru setengah giliranku bercerita tentang kisah hidupku sudah membuat tangisanku tumpah ruah di sudut musholla kampus.

“ Dik. . . . tenanglah, lalu bagaimana kisah selanjutnya? Apakah ada doa rutin yang kau panjatkan agar senantiasa merasa dekat denganNya? . Lanjut Kak Syifa seraya memberikan selembar tisu untuk mengusap air mataku yang hampir terjatuh.

“ Doa rutin yang kupanjatkan tak lain hanyalah tuk membalas budi baik Almarhum bapak kak, sebab . . . .”

            “ Sebab apa dik?” Kak Syifa lantas memelukku seakan mentransfer kekuatan agar aku kembali bercerita.

            “ Sebab penyesalan selalu datang terlambat, kak.”

Aku kembali melanjutkan kisahku dan kudapati Kak Syifa turut bersedih mendengarnya.

Selang waktu berganti, aku belum juga berhenti. Bahkan masa pacaran kami tidak hanya cukup di malam hari. Sering Haris membawaku bolos sekolah sekedar untuk menemaninya bermain playstation, atau makan siang di jam-jam sekolah.

Ketika malam datang kami kembali bepergian yang tak penting dan terkadang terasa amat membuang-buang waktu. Nilai rapotpun menjadi merosot tajam. Parahnya, aku masih menganggap itu hanyalah hal sepele. Ibu dan Bapak terlihat begitu kecewa melihat sikapku.

Ku akui, aku sungguh egois. Karena cinta, aku menjadi tak karuan bahkan berani membangkang terhadap kedua orangtuaku. Kondisi Bapak yang sering sakit-sakitan juga terlupakan.

Hingga suatu hari, Haris memutuskan hubungan kami melalui SMS. Aku yang tak percaya langsung menuju rumahnya dan meminta kejelasan tentang hubungan kami.

            Setibanya di sana, ia malah memperolokku. Dengan suaranya yang lantang, ia berkata bahwa ia bosan berpacaran denganku. Tapi aku mati-matian meminta agar kami kembali berpacaran. Tanpa disangka datang seorang wanita berambut panjang yang langsung memegang tangan Haris. Dan lelaki itu langsung mencium keningnya lalu saling berpelukan. Kejadian itu membuat mata hatiku terbuka. Ternyata lelaki itu hanya menginginkan wanita yang murahan, yang mau menuruti apapun keinginannya.

Bodohnya aku masih saja menangisinya, sepanjang perjalanan pulang aku masih mengingatnya dan menyesali hubungan kami yang telah berakhir. Tetapi jauh di dalam lubuk hatiku sudah ikhlas tuk membuang jauh-jauh rasa cinta itu.

             Seperti silih berganti masalah hadir menyerangku, sesampainya di rumah aku terkejut melihat sanak saudaraku yang berkumpul di beranda rumah. Bayanganku tentang Haris melayang seketika. Kali ini perasaanku bercampur aduk. Gelisah, dan bertanya-tanya. Ku amati satu persatu saudaraku menangis, pakde dan budeku menangis, tetangga dekatku juga ikut menangis. Apa mereka terharu melihat keputusanku untuk meninggalkan Haris? Ah, tidak mungkin hanya karena masalah sepele seperti itu. Lalu akupun teringat Ibu, aku bertanya-tanya dimana Ibu. Pakde dengan sigap mengantarku menuju ruangan dimana Ibu berada. Akupun segera berlari menghampiri Ibu, ku dapati Ibu sedang menangis sambil berbaring di tempat tidur. Disampingnya ada sepupuku yang menemani. Matanya tampak berembun, nampaknya ia ingin berbicara namun nafasnya sesak sehingga sulit untuk berkata-kata.

Ketika ku tanyakan tentang Bapak, Ibu berteriak histeris kala mendengarnya. Ibu hanya sanggup menunjuk-nunjuk ke arah sudut ruangan dan terus menangis. Aku mengikuti petunjuk dari Ibu. Perasaanku bertambah kacau, tiba-tiba rasa bersalah itu muncul menjadi satu saat aku mengingat wajah Bapak. Apa benar bapak meninggal dunia? Ya Allah, belum sempat aku meminta maaf kepada beliau, kemudian terasa ada sesuatu yang menetes di pipiku. Tepat di depan pintu kamar belakang aku menangis tersedu.

Innalillahi wa innailaihi rojiun . . .      

Aku lantas memeluk jasad Bapak, rasa penyesalan yang begitu besar serempak menghantuiku kala itu. Aku merasa sangat berdosa mengingat sikapku yang sering membangkang terhadap nasehat Bapak selama ini.

“ Aku sungguh malu dengan diriku, kak ! aku bukanlah anak yang berbakti...” Lalu aku mengusap air mataku yang susul menyusul.

“ Ikhlaskanlah adikku, kematian itu sudah takdir Allah. Bersyukurlah karena cinta Allah

 menyapamu hingga kau tak terlalu jauh terjebak dalam maksiat itu”.

            Aku terdiam.

            Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu maaf untuk hamba-Mu ini.

            Kini cukuplah Engkau sebagai penolong, menjaga tiap-tiap cahaya harapan agar tak sirna dari pandanganku. Meskipun pertolonganNya datang dengan cara yang tidak ku senangi. Aku bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan bagi ku tuk kembali kepadaNya. 


Naskah ini diikutsertakan dalam lomba Kisah Cinta Islami dalam Event "Indhis Writing Contest" . Yang diselenggarakan oleh Pena Indhis "Penulis Antologi Indahnya Islam" pada 13 februari s/d 13 Maret 2013. Dengan total keseluruhan 610 naskah peserta lomba, namun hanya lolos hingga tahap 2 dari 4 tahap yang ada. Semangat Hasana Annas ! Jangan putu asa !

Jumat, 15 Juni 2012

Catatan Kecil dari Malam Malam Panjang



Mar, ini Sri. Mau minta bantuan doa dari kamu buat seorang anak yang sedang koma dengan tempurung kepala pecah, usia 2.5 tahun, karena jatuh dari tangga . Mohon doa khusus, semoga Tuhan memberikan yang terbaik, serta kesembuhan dan keselamatan anak ini,  trims.

Pesan singkat itu diteruskan Mami pada tanggal 30 Agustus lalu. Teman-teman Mami memang sering meminta tolong Mami berdoa. Dan seperti biasa Mami akan menyampaikan permintaan itu kepada seluruh anaknya.

Dan sekalipun saya tidak tahu apakah saya termasuk orang baik di mata-Nya,  biasanya dengan serius saya akan memasukkan nama mereka yang sakit satu persatu kedalam doa saya, agar Allah memberikan kesembuhan yang tanpa meninggalkan bekas.


Saya merasa harus mewajibkan diri saya untuk itu, karena saya ingat masa-masa dimana saya membutuhkan begitu banyak doa. Ketika anak-anak sakit misalnya, dan meminta ke siapa saja untuk membantu dengan doa. Dan ketika anak-anak sembuh, saya bersyukur kepada Allah sebagai Sang Penyembuh, disamping merasa berhutang doa dari mereka yang telah mengangkat tangan ke hadirat Allah dengan tulus, untuk kesembuhan anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, nama-nama yang biasa saya sebutkan dalam doa usai solat akan berganti dari waktu ke waktu. Ada kalanya saya bahagia karena mendapatkan kabar bahwa salah satu dari mereka yang masuk ‘list’ ternyata sudah sembuh, dan karenanya namanya tidak lagi saya sebut secara khusus.

Tetapi tidak jarang kesedihan menyergap saya, saat telepon bordering dan suara isak di seberang sana mengabarkan bahwa seseorang yang saya doakan selama ini ternyata telah berpulang.

Saya sedih karena tidak bisa lagi mendoakan kesembuhan baginya. Sedih karena satu nama lagi harus saya keluarkan dari list doa untuk yang sakit. Meskipun saya tahu, bisa jadi mereka yang berpulang telah meraih kebahagiaan yang sejati.

Belakangan sebuah hadits yang saya temukan membuat saya lebih terpanggil dalam mencari nama-nama untuk didoakan. Dari sms yang diforward Mami, dari kejadian yang saya dengar. Seorang bayi yang terjatuh dari lantai atas di sebuah Mal, yang pernah terjadi misalanya.

Saya ajak anak-anak untuk mendoakan. Kadang-kadang saya tidak mengetahui identitas mereka, hingga kami mendoakannya tanpa menyebut nama. Mungkin hal ini agak membingungkan buat Adam sampai-sampai suatu hari dia bertanya kepada ayahnya.

“Ayah, adik bayi yang jatuh di Mal dan kita doakan itu, Allah tahu namanya?”

Rupanya Adam hanya memastikan Allah mengerti kepada siapa doanya ditujukan.

Mendoakan sebenarnya tidak hanya untuk mereka yang sakit. Tapi siapa saja. Mereka yang dililit masalah, mereka yang dalam kondisi berperang, mereka yang diuji dengan kemiskinan, mereka yang sakit tapi tidak punya uang untuk berobat . . . . begitu banyak doa yang harus diucapkan setiap waktu.

Dan dengan informasi di depan mata, kita semakin sering menemukan orang-orang yang harus kita doakan. Bahkan lewat email yang terkirim, atau postingan di milis yang kita ikuti, atau blog yang rajin kita isi.
Setiap hari selalu ada yang membutuhkan doa-doa kita. Dan saya percaya kebaikan lain telah menanti kita yang senang mendoakan orang lain,

“ . . . . di atas orang yang berdoa ada malaikat yang mewakili, setiap seorang muslim mendoakan saudaranya pada kebaikan, maka malaikat yang mewakili itu berkata : ‘juga untukmu seumpamanya,’” (HR. Muslim)

Subhanallah.

Ketika kita merasa ‘tak cukup baik’ dan karenanya sering diselipi keraguan akan terkabulnya doa.
Ketika kita tak henti-hentinya meminta keluarga, sanak famili, dan banyak orang untuk mengucapkan doa bagi peliknya permasalahan hidup yang dihadapi; anak yang sakit, suami yang terpikat perempuan lain, hutang-hutang yang membelit, penyakit yang tidak kurun sembuh, kesedihan karena belum punya momongan.

Maka saatnya bukan hanya meminta doa dari orang lain, tetapi mencari saudara-saudara seiman yang sedang mendapatkan ujian serupa, lalu mulai menyusun doa-doa panjang dan khusyu untuknya.
Agar malaikat, yang tak pernah lepas bertasbih dan menyembah-Nya, yang senantiasa suci dari salah dan maksiat, mengucapkan doa :

Juga untukmu, seumpamanya  . . . .  :)

(Asma Nadia-Catatan Hati di Setiap Doaku)



Sabtu, 02 Juni 2012

Keep Spirit, semangat itu bukan perlu tapi butuh !


Alhamdulillahirobbil`alamin……Alhamdulillahirobbil`alamin Alhamdulillahirobbil`alamin….. 
Alhamdulillah, alhamdulillahirobbil'alamin assholaatuwassalaamu'alaasrofil ambiyaa wa mursalin wa'ala aalihi wa ashabihii ajma'in. asyhaduanlaailaahaillallah wa asyhaduannamuhammadarrosulullah…..

Sahabat, rasanya rasa syukur ini berapa kalipun ke hadirat-Nya, tidak pernah cukup untuk mewakili apa yang sesungguhnya ada di dalam dada…. 

Masih ingat kan sama artikel Ann yang berjudul I wanna reach my dreams ??


Yakk waktu itu semuanya masih berupa angan-angan. 
Sekolah Ann ternyata membawa Ann meraih cita-cita yang selama 3 tahun ini terpendam. Ann sekarang sudah diterima disalah satu PTN di Jakarta, 
yaitu Universitas Negeri Jakarta dengan jurusan Teknologi Pendidikan ^^

Alhamdulillah dengan segala keterbatasan Ann,  
Akhirnya terwujudlah kedua cita-cita Ann, yaitu masuk PTN dan LULUS UN + LULUS dengan hasil yang Ann harapkan :)
Terima Kasih ya Allah....

Perjuangan Ann belum habis sampai disini,, Semangat teruss !!! raihlah cita-citamu setinggi langit ^^

Sahabat, Ann punya cerita motivasi nih... semoga bs menambah semangat Ann dan Sahabat semua ya ^^

*************************ANAK KERANG****************************************
 

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengaduh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.

"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu. Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam."

"Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut.

Anak kerang pun melakukan nasihat bundanya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya. Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara ;

air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.  

*******************************************************************

Ukhmi al hidayah- Cerita di atas adalah sebuah paradigma yg menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa".

Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".

Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang,

atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'. Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'.

So..sahabat mungkin saat ini  sedang mengalami penolakan, kekecewaan, kesedihan, atau terluka karena orang2 dan hal2 di sekitar.

Cobalah untuk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan didalam hatimu.

"Airmataku diperhitungkan Tuhan..dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara2... " 

Senin, 06 Desember 2010

Kisah sufi ; Hidup ibarat segenggam garam :)

oleh Muhammad Cholidi Asadil Alam pada 21 September 2010 jam 0:10
Nasihat buat diri sendiri dan sahabat yg ingin menyimak dan mengambil hikmah dari kisah ini. Sahabatku rahimakumullah,

Alkisah seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.

Sang Guru tertawa terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”

Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”

Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.


Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.”

Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.

Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan petuah Sang Guru Sufi yang terkenal bijaksana itu. “Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya engkau tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar engkau bisa menikmati hidup”

Sahabatku rahimakumullah, Memang dalam perjalanan hidup, kita terkadang kita mengalami kondisi sulit : hari-hari terasa muram, masa depan gelap tak jelas, makin menggelisahkan. Ke sana-sini mencari kerja tak ada kepastian, seluruh jalan terasa buntu, setiap kali memulai usaha selalu merugi –terkadang ditipu kawan–, musibah datang silih berganti, tangisan anak merengek biaya sekolah, sementara penghasilan tak mencukupi, dan setimbun problema hidup lainnya.

Bila kebingungan mencekam, jalan keluar akan semakin buntu. semakin tercekam dalam kebingungan, psikologi menjadi kocar-kacir, segala program yang telah ditata berantakan, masa depan kian gelap , dan persoalan kian menimbun.

Tidak terhitung jumlah orang –utamanya orang yang tak memiliki iman—telah mengambil jalan pintas bunuh diri dikarenakan kebingungan mencari jalan keluar dari kesulitan hidup. Tidak sedikit, ribuan orang menjadi gila dan stress karena tak tahu bagaimana hendak menyikapi berbagai masalah yang dihadapi.

Sahabatku, apabila perasaan sedih membebani, menjadikan perasaan kalut tak terhindari, misalnya, karena kerugian selama ini yang harus ditanggung, apalagi jika diingat bagaimana ” capeknya” berusaha, siang malam bekerja keras hanya musibah yang datang memporak-porandakan semuanya ; perasaan sedih karena merasa sendirian, teman-teman yang pernah dibantu ternyata melupakan dirinya. Tak jarang, rasa menyesal dan kecewa muncul ketika itu.

Ketika rasa penyesalan demikian ini muncul, seluruh keikhlasan yang telah dilakukan hangus. Kesedihan akan semakin menumpuk dan membebani jiwa. Akan sia-sia, menyesali masa lalu, dan pada waktu yang sama, telah menggerogoti simpanan pahala. Semakin sedikit simpanan amal baik, maka semakin terasa sempit jiwa dan kehidupan kita.

Mengambil jalan Pintas? Melakukan tindakan yang merugikan orang lain demi kepentingan sesaat dan keuntungan duniawi, seperti: menipu, mencuri, merampok, dlsb, sungguh tindakan jahat semacam itu bukan jalan keluar. Justru, makin mempersulit jalan hidup. Dengan tindakan jahat, kepercayaan orang lain akan hilang.

Bukankah modal utama dalam kesuksesan hidup tidak hanya terletak pada banyaknya uang, pun bukan pada kehebatan memasarkan diri, melainkan terletak pada sejauh mana orang lain mempercayai kita. Barang-barang haram yang kita peroleh tidak akan pernah membuat hidup menjadi tenang, tapi membuat semakin gelisah merasa dikejar-kejar sesuatu yang mengancam. Barang haram niscaya akan membangun kerakusan baru : merasa haus untuk memburu lagi barang-barang haram yang baru. Kekayaan haram tidak mendatangkan berkah sama sekali : tak terasa kekayaan tiba-tiba habis begitu saja, sia-sia.

Bagaimana jalan keluarnya ? Pertama : melanjutkan usaha dan upaya kita dengan tetap jujur, dan menghindari segala perbuatan yang dibenci Allah swt.

Kedua : percaya bahwa segala yang menimpa hamba adalah karena takdir Allah. Meyakini, bahwa segala yang Allah takdirkan adalah yang terbaik buat kita. Dengan demikian, akan datang perasaan tenang karena dirasa yang diyakini : Allah maha Kaya, Maha Kuasa, dan Allah yang menentukan segala nasib hambaNya.

Selain kedekatan yang melahirkan rasa tenang, hidup akan semakin bersih ; kepercayaan orang lain akan semakin kuat. Selanjutnya, jalan hidup akan semakin terbuka lebar.

Ketiga : setiap kali seorang hamba memasuki kesulitan, berarti, kemudahan semakin dekat dan jalan keluar segera ditemukan. Janji Allah (Q.S. Alam Nasyrah : 5-6) :

“Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).

Seperti apa yang disampaikan oleh Guru Sufi tadi, dalam menyikapi ketetapan Allah, akan tergantung kepada diri kita masing-masing.

Sahabatku, penderitaan yang kita alami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati kita. Dan seperti Guru sufi bilang dalam Notes di atas, bahwa segala masalah dalam hidup itu ibarati segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kita alami sepanjang kehidupann kita itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk diri kita masing-masing. Jumlahnya-pun tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah.

Nah supaya kita tidak merasa menderita, marilah kita berhent menjadi gelas. Jadikan hati dalam dada kita menjadi seluas telaga agar kita bisa menikmati hidup dan yakinlah akan firman-NYA, bahwa ” “Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).

Wallahulam bissawab

Sepenggal Keikhlasan *^_^*

Angin sore yang sungguh menyejukkan. Meskipun ia hadir bersama hujan, namun tiada pantas bila masih saja terlintas ucap keluh kesah dari lisan seorang hamba. Karena, bukankah setiap tetesannya mengandung rahmat?
            Ku akhiri sore ini dengan menghadiri halaqoh rutin. Meskipun lumayan jauh tapi karena halaqoh tersebut selalu ku tunggu-tunggu, sulit rasnya bila tak hadir. Memang betul hari ini sejak Sang Surya berada diperpaduan langit, aku sudah pergi kesana kemari. Bila dirasakan lelah, tentu saja sangat lelah. Namun bukanlah suatu alasan yang tepat untuk tidak hadir di majelis dzikir tersebut. Dapat ku bayangkan betapa meruginya bila ku tak hadir. Akan ada materi-materi penting yang tertinggal, akan ada pembinaan ruhiyah yang tak sempurna, dan lainnya. Ah, sungguh merugi!
            Ditengah-tengah pembahasan materi tiba-tiba salah seorang temanku bertanya,
            ”Ustadzah, afwan bagaimana sih proses pernikahn yang sesuai syar’i?”Tanya Nova dengan malu-malu.
            ”Cie...teh Nova, mencurigakan nih. Ehm..ehm”Godaku
Yang lainpun tak kalah menggoda.
            ”Wah, Nov sama siapa?Kok nggak pernah cerita-cerita sih!”
            ”Ah, antunna ini! Aku kan Cuma bertanya!”Ucapnya.
            ”Yang jelas, tanpa pacaran. Dan hanya melalui proses ta’aruf lalu khitbah kemudian akad, dan walimah jika diperlukan.”Jawab Murobbiyahku
            ”Hm...saya jadi teringat, karena kalian sebentar lagi lulus kuliah, sebaiknya kalian mempersiapkan perkara tersebut sejak dini”Lanjut murabbiyahku.


            Memang benar perkara pernikahan harus disiapkan sejak dini. Karena kita tak pernah tahu kapan proposal nikah itu datang.
            Pikiranku pun melayang jauh. Siapakah pendamping hidupku? Apakah sesuai dengan yang selama ini ku harapkan?Seorang ustadz yang tarbiyah san dakwahnya tak perlu diragukan lagi. Ustadz yang mencintai Allah lebih dari apapun. Sehingga ia dapat mencintai diriku sebagai istrinya.
            Tak terasa malam kian menjelang. Halaqoh hari ini berkahir dengan sangat syahdu. Perbincangan pernikahan yang sungguh sangat luar biasa dan sangat berarti. Meskipun bagi kebanyakan orang, usia delapan belas tahun intu merupakan usia yang masih jauh dari mahligai pernikahan namun, apa salahnya jika ku mengetahui lebih banyak.
Saat perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang mengirimkan sms,
”Assalamu’alaikum Wr Wb. ’afwan apakah ukhti ada waktu hari ini? Insya Allah murobbi ana ustadz Ahmad ingin menghubungi ukhti. Syukron”
Ku baca ulang sms yang masuk ke inbox. Perlahan ada yang berdesir di hatiku. Astagfirullahal ’adzhim. Cepat ku hilangkan fikiran andai-andaiku.
”Wa’alaikumsalam Wr Wb. Insya Allah ba’da isya. Jam 20.30. Syukron”

Setibanya di rumah, lekas ku ambil air wudhu dan menunaikan shalat maghrib. Tak lupa ku berdo’a memohon ampun karena ku telah berandai-andai. Bagaimana tidak. Keperluan apa yang dimiliki murobbi ikhwan kepada seorang akhwat melainkan.....
Astagfirullah....
Ba’da shalat isya, ku berdoa panjang. Do’a yang kidungnya berharap segala sesuatu merupakan kebaikan. Terus ku pegang erat handphoneku.
Tiba-tiba.....
”Assalamu’alaikum Wr Wb. Maaf apa benar ini dengan Lathifah?”
”Wa’alaikumsalam Wr Wb. Ya betul. Maaf ini dengan ustadz Ahmad?”Gugupku
”Ya betul. Maaf sebelumnya mengganggu. Ana mendapatkan amanah dari salah seorang mutarobbi ana yang hendak berta’aruf serius dengan ukhti. Untuk itu bolehkah ana meminta nomor murobbiyah ukhti. Karena ana mohon maaf sebelumnya perkara seperti ini lebih baik dibicarakan dengan murobbiyah ukhti. Namun, karena ana tidak menemukan data ukhti, ana memutuskan untk menelpon ukhti”
”Tidak apa-apa ustadz...”jawabku.
Setelah lima belas menit lebih kami usai berbicara, tiba-tiba mama masuk,
”Maafkan mama nak...”Ucap beratnya.
”Mama mendengar pembicaraanmu dengan ustadz tadi. Mama rasa, mama tidak setuju bila kau menikah tahun ini.”
Ada yang ku rasakan berbeda akan kalimatnya tadi. Bukan, bukan kalimat itu yang ku inginkan. Perlahan ada yang berderai di mataku. Mengingatkanku pada tiga tahun lalu, saat sujud malamku, menampung kidung doaku........
”Jikalau berkah umur ini sampai, maka sampaikanlah aku mujahid seperti dia..”
Dan kini tawaran itu berada didepan mata. Saat ini. Saat usiaku masih delapan belas tahun.

Kini ku hanya mampu berdoa, berharap yang terbaik kelak.. Ku resapi apa yang ada dalam hatiku kini dalam Sholat Istikhorohku.
            ”Ya Rabb, Engkau yang mengetahui isi hati hamba, sungguh sulit menentukan keputusan itu.
Ya Rabb, hamba malu pada Mu, apa benar diri ini pantas?banyak yang belum hamba ketahui...”
            Keesokan harinya, aku konsultasikan pada ustadzah Tika. Terutama tentang mimpi dan keyakinan hatiku. Belialulah murobbiyah yang selalu membimbing dan memberikan semangat dalam jalan dakwah ini.
            Aku lalui hari ini dengan berdiskusi. Aku terhenyak oleh perkataan murobbiyahku.
            ”Yang terpenting sekarang, apakah orangtuamu merestui bila kau menikah saat ini Thif?Thifah harus mementingkan perasaan orangtuamu. Meskipun bagimu tak apa bila kehidupan rumah tanggamu kelak sangat sederhana, namun bagi orangtuamu mereka akan menginginkan lelaki yang dapat menggantikan mereka.”
            ”Dan ambilah keputusan dengan mata hati yang jernih. Buanglah semua atribut yang pernah melekat di benak mu. Sehingga kau lebih mudah dalam mengambil keputusan.”Paparnya.
            Subhanallah...saran terakhir dari murobbiyahku adalah untuk membaca buku inspiratif tentang pernikahan dini. Dan tanpa pikir panjang setelah ku pamit dan berterimakasih padanya, bergegas ku beli buku itu. Berani mengambil keputusan, memantapkan hati menerima pinangan di usia muda. Ku berharap dengan membaca pengalaman mbak Evi yang beliau tulis ini, membuat ku tidak ragu dalam melangkah. Segera ku pulang dengan angkutan umum. Tak sabar hati untuk mengetahui pengalaman mbak Evi.
            Bismillahirrohmaanirrohiim. Ku buka lembar demi lembar. Baru saja ku sampai pada ’Catatan dari suami’, air mataku mulai meleleh. Ku tak peduli bila supir angkot terheran-heran padaku. Yang penting keharuanku ini tidak mengganggu orng lain. Ku perhatikan makna yang beliau tulis.

Seorang tidak akan terampil mengemudi mobil hanya dengan keinginan semata. Juru masak tidak akan mahir hanya dengan menghayalkan hidangan lezat. Mereka perlu waktu utnuk belajar dan juga perlu berkorban

            Subhanallah, ku resapi kalimat-kalimat yang tertuang didalamnya. Menghantarkanku pada cermin diri.
Ya Rabb, ampuni hamba karena selalu merasa kurang dan kurang. Padahal pada hakikatnya proses belajar adalah proses yang tiada henti. Begitupun dalam rumah tangga. Bagaimana seorang istri pandai mengurus suami, memasak makanan kesukaannya, menyiapkan pakaian taqwa, pandai mengatur rumah tangga, mendukung tarbiyah dan dakwah suaminya. Itu semua memerlukan proses panjang. Hingga buah hati yang akan menjadi ruh baru dalam umat lahir pun, bukan berarti proses belajar itu terhenti.
Lalu lamunanku menghantarkanku pada orang tuaku. Berkelebat sosok papa dan mama. Mama yang sedang terguncang hatinya akan kepercayaan Papa. Dan Papa yang masih belum bisa meyakinkan Mama bahwa ia akan setia selamanya. Begitu rumit ujian yang sedang mereka hadapi. Apakah jika aku menerima permintaan ta’aruf , berarti aku telah menambah beban pada orangtuaku? Astaghfirullahl’adziim.
Tak terasa angkutan yang ku tumpangi telah sampai di depan komplek. Lekas ku turun dan ku bayar dengan uang pas. Saat hendak masuk komplek, ku melihat pasangan muda yang sedang menggendong anaknya. Terlihat ada binar-binar bahagia di matanya. Kemudian.... Astagfirullahal’adziim
Lekas ku palingkan pandanganku. Aku hawatir jika kemudian aku berhayal hingga hatiku berdesir, dan tumbuh bunga-bunga yang bermekaran bukan pada musimnya.

            Bersabarlah hati, adukanlah segalanya pada Sang Pemilik hati manusia. Adukanlah dalam simpuh istikhorohmu. Hingga keresahanmu terobati dengan kemantapan hati.

            Tepat ku sampai di rumah saat adzan magrib berkumandang. Segera ku berwudhu dan menunaikan sholat magrib. Aku merasa sholat magrib kali ini adalah sholat yang terasa sangat syahdu. Hingga meneteslah bulir-bulir mata.
”Ya Rabb, ku tak pernah menyangka Kau kabulkan do’aku secepat ini. Do’a sederhana tiga tahun lalu yang ku panjatkan, kau kabulkan kini.
Ya Rabb, tunjukilah aku jalan cinta-Mu agar aku tak sesat dalam mengambil keputusan. Aamiin Ya Robbal’alamiin”
Kulipat mukenaku. Ku tarik nafas panjang. Bismillahirrohmaanirrohiim. Saatnya ku mantapkan kembali keputusan mama. Apakah berubah atau tidak.
Ku beranjak keluar kamar. Ku lihat mama sedang serius menonton berita. Ku dekati ia perlahan dan menyandarkanku pada kakinya, layaknya seorang anak kecil yang sedang bermanja-manja pada mamanya. Tanpa sadar bibirku mengucap pilu
”Ma, apa benar keputusan mama kemarin adalah keputusan terakhir?”
            ”Nak..” Gumam mama tanpa ekspresi.
            ”Rasanya, mama belum bisa merestui bila kau menikah tahun ini. Bukan karena yang melamarmu ataupun pilihanmu. Tapi, karena kau belum mempunyai pekerjaan nak..
Mama tidak ingin kau menderita seperti mama. Kehidupan rumah tangga menjadi lebih sulit bila seorang istri tak mempunyai penghasilan. Lagipula, bukankah kau ingin merampungkan ilmu di Timur Tengah dahulu?”
            Ku kembali ke kamar dengan gontai. Entah mengapa ada sesuatu yang menyesakkan dada. Semua rasa bercampur aduk.
            Astagfirullahal’adziim...
            Astagfirullahal’adziim...
Lagi-lagi ku coba pasrahkan apada Illahi saat sholat Isya. Berharap menemukan ketenangan dalam setiap pertanyaan yang tak berkesudahan
            Ya Rabb, maengapa harus sekarang?Disaat ku seharusnya membantu merekatkan kembali rumah tangga mama dan papa. Disaat seharusnya aku lebih banyak berkorban untuk mereka...
Selepas sholat Isya, aku sempurnakan doaku dalam sholat istikhoroh lagi.
Ya Allah sesungguhnya aku meminta pilihan yg tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini lebih baik dalam agamaku dan akibatnya terhadap diriku di dunia dan akhirat sukseskanlah untukku mudahkan jalannya kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama dan dan akibatnya terhadap diriku di dunia dan akhirat kepada diriku maka singkirkan persoalan tersebut dan jauhkan aku daripadanya takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku 
            Ku sudahi dengan kemantapan hati. Kian waktu berjalan aku semakin mengerti doa yang terkabul juga merupakan ujian dari-Nya. Ujian yang pasti aku dapat melewatinya.
Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha...lahaa ma kasabat wa’alaiha maktasabat...
           
Ku pandangi buku hijau dihadapanku kini. Ada kalimat yang menggugahku.
Berani mengambil keputusan tidak takut gagal. Takut gagal, jangan mengambil keputusan. Takut mengambil keputusan gagal saja!
            Kalimat ini membuat ku terhenyak. Mbak Evi memang berani mengambil keputusan untuk menikah dini, dan akupun tak berbeda. Aku berani mengambil keputusan dengan..
Bismillahirrohmaanirrohiim...dengan mengaharap ridho Allah. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan proses tersebut. Karena Ibu belum merestui dan segala kondisi tentang kuliah dan lainnya. Afwan jiddan. Syukron karena telah memberikan kesempatan pada saya.
Semoga Allah memudahkan segala ikhtiar dan memberikan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat
            Ada kelegaan yang ku rasa setelah ku kirimkan sms tersebut pada murobbinya. Betapa Allah telah membuka tabir rahasianya, memberikan nikmat akal, hati, ruh, jasad yang harus digunakan sebaik-baiknya.
            Ya Rabb, berikanlah hamba berkah umur, umur dimana hamba dapat memilih yang terpilih yang Engkau pilihkan dan berikanlah hamba keikhlasan selamanya....
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html
Nama-nama yang ada disini telah disamarkan