Halal dan Haram merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Seseorang akan terhamabat dalam upaya pendekatan diri kepada Allah sang Maha Pencipta, jika di dalam dirinya mengandung unsur haram walaupun itu sedikit. Baik itu, makanan yang ia makan, pakaian yang mereka kenakan dan lain sebagainya.
Namun, masih banyak hal di sekitar kita yang belum pasti akan kehalal-haramannya. Misalnya kita ambil contoh merokok dan mengemis. Sehingga timbul keraguan-keraguan dalam benak masyarakat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, MUI selaku pihak yang mengaku sebagai pihak yang mengurusi (atau mungkin juga bertanggung jawab) tentang ke-Islam-an di Indonesia, kerap kita jumpai melakukan ijtihad (pengambilan keputusan tentang sesuatu yang belum atau tidak di nash-kan di Al-qur'an atau hadits) untuk menentukan halal dan haramnya sesuatu.
Perlu kita ingat bahwa terdapat dalil yang menyatakan " Yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu hanyalah Allah swt". Dengan berdasarkan dalil ini, jelas bahwa MUI tidak berhak sepenuhnya menentukan halal atau haramnya sesuatu yang masih syubhat. Karena MUI bukan Allah yang berhak menentukan, sesuai dengan dalil tersebut.
Seperti contoh tadi, merokok dan mengemis, baru-baru ini terdengar oleh kita bahwa di sejumlah daerah, MUI daerah menyatakan haram untuk merokok atau mengemis. Sejak zaman Rasulullah dan sahabat dulu sudah ada yang namanya merokok dan mengemis, dan tidak ada larangan untuk itu atau tidak diharamkan. Bisa dikatakan demikian karena ada hadits yang mengakatan " Jangan pernah menghardik orang peminta-minta". Mengemis memanglah tidak dianjurkan oleh Islam, tapi bukan berarti haram kan?
Nah, jika MUI berdalih menyatakan itu haram dengan alasan agar manusia (ummat) senantiasa dalam keadaan sehat, tidak mengganggu orang lain, tidak bermalas-malasa, tidak meminta-minta dan lain sebagainya (sebagai akibat tindakan merokok dan mengemis). Jangan gunakan fatwa haram utnuk melarangnya. Karena halal dan haram itu berurusan dengan Allah, maka hanya Allah lah yang tahu apakah perbuatan mereka itu dosa (haram) atau tidak. " Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Jika memang larangan itu terpaksa dilakukan, alangkah lebih baik jika larang tersebut dicantumkan dalam peraturan daerah atau Undang-undang. Dengan begitu MUI tidak akan menyalahi kehendak Allah (tentang penentuan halal haram). Dan ini akan berjalan lebih efektif karena peraturan pemerintah akan lebih dipatuhi oleh masyarakat. Sebab jika terjadi pelanggaran maka ada sanksi atau hukuman yang tegas atas tindakan tersebut.
Pengemis sebenarnya tidak ingin mengemis, itu semua terjadi karena adanya "orang atas" yang kurang peduli kepada para pengemis. Dengan melarang orang untuk mengemis itu hanya akan menghilangkan pekerjaan mereka, dan merebut makanan mereka. Akan lebih mulia jika pengemis dibina dan diberi modal untuk dijadikan sebagai pengusaha. Atau setidaknya bermental wirausaha.
JUST : TALK LESS DO MORE
Namun, masih banyak hal di sekitar kita yang belum pasti akan kehalal-haramannya. Misalnya kita ambil contoh merokok dan mengemis. Sehingga timbul keraguan-keraguan dalam benak masyarakat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, MUI selaku pihak yang mengaku sebagai pihak yang mengurusi (atau mungkin juga bertanggung jawab) tentang ke-Islam-an di Indonesia, kerap kita jumpai melakukan ijtihad (pengambilan keputusan tentang sesuatu yang belum atau tidak di nash-kan di Al-qur'an atau hadits) untuk menentukan halal dan haramnya sesuatu.
Perlu kita ingat bahwa terdapat dalil yang menyatakan " Yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu hanyalah Allah swt". Dengan berdasarkan dalil ini, jelas bahwa MUI tidak berhak sepenuhnya menentukan halal atau haramnya sesuatu yang masih syubhat. Karena MUI bukan Allah yang berhak menentukan, sesuai dengan dalil tersebut.
Seperti contoh tadi, merokok dan mengemis, baru-baru ini terdengar oleh kita bahwa di sejumlah daerah, MUI daerah menyatakan haram untuk merokok atau mengemis. Sejak zaman Rasulullah dan sahabat dulu sudah ada yang namanya merokok dan mengemis, dan tidak ada larangan untuk itu atau tidak diharamkan. Bisa dikatakan demikian karena ada hadits yang mengakatan " Jangan pernah menghardik orang peminta-minta". Mengemis memanglah tidak dianjurkan oleh Islam, tapi bukan berarti haram kan?
Nah, jika MUI berdalih menyatakan itu haram dengan alasan agar manusia (ummat) senantiasa dalam keadaan sehat, tidak mengganggu orang lain, tidak bermalas-malasa, tidak meminta-minta dan lain sebagainya (sebagai akibat tindakan merokok dan mengemis). Jangan gunakan fatwa haram utnuk melarangnya. Karena halal dan haram itu berurusan dengan Allah, maka hanya Allah lah yang tahu apakah perbuatan mereka itu dosa (haram) atau tidak. " Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Jika memang larangan itu terpaksa dilakukan, alangkah lebih baik jika larang tersebut dicantumkan dalam peraturan daerah atau Undang-undang. Dengan begitu MUI tidak akan menyalahi kehendak Allah (tentang penentuan halal haram). Dan ini akan berjalan lebih efektif karena peraturan pemerintah akan lebih dipatuhi oleh masyarakat. Sebab jika terjadi pelanggaran maka ada sanksi atau hukuman yang tegas atas tindakan tersebut.
Pengemis sebenarnya tidak ingin mengemis, itu semua terjadi karena adanya "orang atas" yang kurang peduli kepada para pengemis. Dengan melarang orang untuk mengemis itu hanya akan menghilangkan pekerjaan mereka, dan merebut makanan mereka. Akan lebih mulia jika pengemis dibina dan diberi modal untuk dijadikan sebagai pengusaha. Atau setidaknya bermental wirausaha.
JUST : TALK LESS DO MORE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar