Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga benda sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria kampung seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang. Wong ndeso asal Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu memegang dua paten penting di bidang telekomunikasi. Dunia mengaguminya.
Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak pakem soal efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler. Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division multiplexing. Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun seperti lazimnya, melainkan malah meningkat.
“Kami mampu menurunkan power sampai 5dB=100 ribu kali lebih kecil dari yang diperlukan sebelumnya,” kata dia.
Dunia memujinya. Khoirul juga mendapat penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri oleh Konsulat Jenderal RI Osaka pada 2007.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim. Untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama sekali guard interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata teman-teman penelitinya. Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan bertabrakan tak keruan. Persis seperti di kelas saat semua orang bicara kencang secara bersamaan. Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa.
Namun, dengan algoritma yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan interferensi tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama. “Bahkan lebih baik daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun ini.
Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil tak terobsesi pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta mumi Firaun.
Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang badannya tetap utuh sampai sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan teknologi “balsam” terhadap seekor burung kesayangannya yang telah mati. “Saya menggunakan balsam gosok yang ada di rumah,” kata anak kedua dari pasangan Sudjianto (almarhum) dengan Siti Patmi itu.
Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa awet dan mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung tersebut dengan balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata anak petani ini, “Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.”
Penelitian yang gagal total itu rupanya meletikkan gairah meneliti yang luar biasa pada Khoirul. Itulah yang mengantarkan alumnus Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut kini menjadi asisten profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar engineering, melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul sedang menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.
Khoirul sejak kecil memang penuh dengan otak usil. Ayahnya meninggal saat dia kecil. Itu membuatnya harus membantu ibunya membereskan rumah. Dia berbeda dengan anak seusianya. Sementara anak kecil lain cuma bisa pasrah atau memasang wajah melankolis saat disuruh menimba air di sumur, Khoirul malah menyalakan otak jeniusnya.
Dia melepas ban sepedanya dan menggantinya dengan tali timba. Jadilah pompa bertenaga sepeda. Butuh air? Tinggal kayuh sepeda. Dengan cara ini, tenaga yang dikeluarkan lebih sedikit dari menimba biasa. “Sejak kecil saya memang tertarik dunia engineering,” katanya sembari mengenang ide lucunya itu.
Saat di bangku kuliah, dia mulai tergoda pada bidang telekomunikasi. Dia masuk Jurusan Teknik Elektro ITB (1996). Shannon Limit, ilmuwan dari Institut Teknologi Massachusetts, Boston, adalah orang yang menjadi inspirasinya. Apalagi waktu itu telekomunikasi mengalami booming dan meniupkan perubahan besar-besaran dalam dunia telekomunikasi sampai saat ini.
Tujuh tahun tinggal di Jepang, Khoirul menyatu dengan atmosfer penelitian. “Di Jepang, saya benar-benar merasakan level kita sama dengan ilmuwan Amerika Serikat dan Eropa,” kata ayah tiga anak ini. “Perasaan percaya diri seperti ini muncul mungkin karena fasilitas penelitian semuanya lengkap, bahkan mungkin lebih baik.”
Tak hanya itu, Khoirul dan kawan-kawan bisa bebas mengakses jurnal dan perjalanan konferensi—notabene merupakan sumber ilmu bagi peneliti—yang selalu ada setiap saat. Perlu membeli buku dan alat baru, ia tinggal minta. “Meskipun perlu prosedur, semua bisa tuntas dengan cepat,” kata Khoirul.
Efek positifnya, menurut dia, saat ia mengusulkan sebuah teknologi baru, sama sekali tak ada perasaan minder, rendah diri, ataupun malu jika teknologi yang dipresentasikan itu salah. “Itulah mungkin yang membuat kita terus terdorong untuk berinovasi,” kata Khoirul. Apalagi, ditambah posisi sebagai orang asing, ia menegaskan, “Jika tidak berprestasi, tidak akan dihargai.”
Meski berprestasi di Jepang, Khoirul tak ingin selamanya tinggal di sana. Suatu saat ia dan keluarganya akan boyongan ke Indonesia. “Saya bermimpi pulang setelah menjadi orang penting di bidang (telekomunikasi),” kata dia, “Ketika di Jepang, saya merasakan akselerasi ke sana begitu besar, dan setelah punya nama, nanti baru berencana pulang ke Indonesia.” Kapan? Itu yang Khoirul juga tak bisa memprediksinya.
Kini, sembari menunggu harapannya itu terwujud, Khoirul akan terus membenamkan diri di laboratorium. Di luar itu, tentu ia tak akan melupakan keluarganya. Kini, bersama istri tercinta, Sri Yayu Indriyani, dan tiga buah hatinya, Khoirul tinggal di Daigaku Shukusha B-31, Asahidai 1-50, Nomi, Ishikawa, Jepang.
Indriyani, kata Khoirul, aktif dalam kegiatan ibu-ibu di Jepang dan terlibat aktif dalam mengenalkan budaya Indonesia di Jepang. Dari kegiatan istrinya itu pula Khoirul mendapat kerja sampingan baru. “Saya mendapat tawaran menjadi dalang wayang kulit dalam bahasa Jepang,” katanya.
Sumber : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/18/Laporan_Khusus/krn.20090818.174155.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar