Kondisiku sebagai seorang ibu muda yang juga wanita bekerja membuatku banyak pening memikirkan keseimbangan dalam menjalani roda kerumahtangaan dan roda dunia profesional. Keinginan untuk lebih memfokuskan aktivitasku di rumah terpaksa harus tertunda karena ikatan dinas yang masih harus dijalani. Banyak letupan ketidakrelaan dalam hati ini ketika terpaksa harus kucari seorang pengasuh untuk buah hatiku. Tetesan air mata tak pernah lupa singgah tiap kali adegan kemesraan ibu dan anak singgah di pelupuk mataku dalam perjalanan ke kantor. Kepedihan yang begitu menyiksa batinku.
Tiada kesan tertentu ketika pertama kali berkenalan dengan Bi Tini yang kepadanya mau tak mau aku percayakan buah hatiku . Dia banyak bercerita tentang riwayat hidupnya terutama kesedihan hatinya sepeninggal suami tercinta. Tiga orang anaknya yang masih menjadi tanggungannya membuat dia harus tetap memupuk semangat hidup dan mencari nafkah walau harus dengan meninggalkan mereka di kampung. Pada saat itu,kisah hidupnya bukanlah prioritas renunganku karena aku masih harus berjuang melawan
kegelisahan hatiku sendiri dan rasa bersalah yang begitu mendera karena meninggalkan si cantik kecilku hampir 12 jam sehari. Seiring dengan berjalannya waktu, lewat banyak limpahan sayang, dukungan, dan nasihat dari saudara-saudara yang mencintaiku karena ALLAH aku mulai bisa menapaki hari-hari sibukku dengan lebih ikhlas dan tenang, di saat itulah aku mulai bisa melihat sosok lain dari Bi Tini, lebih dari sekedar pengasuh anakku.
Hatiku begitu tersentuh saat melihat tetesan air matanya di tengah ceritanya (yang berulang-ulang) tentang kepedihannya sepeninggal suaminya, tentang beban yang harus ditanggungnya saat ini. Entahlah, aku seperti menemukan frekuensi kepedihan yang sama denganku. Saat itu aku hanya mampu merangkulnya, mengajaknya untuk bersabar dan mensyukuri keadaannya sekarang (betapa aku merasa menjadi orang munafik saat mengucapkannya). Membayangkan kondisinya membuatku merasa menjadi sosok yang begitu pengecut. Betapa kuat dan tegarnya Bi Tini. Sudah kehilangan suami, masih pula harus berpisah jauh dengan anak-anaknya. Sebagai seorang ibu, pastilah amat berat berpisah jauh dengan anak-anaknya. Aku saja yang 'cuma' meninggalkan anak ke kantor sudahbegitu berat rasanya. Sebagai seorang istri kepedihan manalagi yang bisa menandingirasa sepi dan rindu pada suami yang telah tiada. Aku saja sering merasa sedih ketika suami sedang sedikit lebih sibuk sehingga perhatiannya padaku berkurang.Subhanallah, betapa besar hikmah yang aku dapat dari kehadiran Bi Tini dalam hidupku.
Sudah dalam guratan recanaNya pertemuanku dengan Bi Tini. Kalau tidak ada keharusan' untuk aku bekerja di luar rumah, mungkin aku tidak akan bertemu dengan Bi Tini dan tidak dapat belajar banyak dari ketegarannya. Ketiga anak yatim yang kini menjadi tanggungan Bi Tini pun dapat menjadi ladang amal untuk keluargaku. Kami memang bukan orang kaya, namun aku dan suami merasa yakin bahwa di dalam sedikit harta yang kami miliki ada banyak titipan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin.Maka nikmat Allah yang mana lagi yang masih harus kukeluhkan ? Betapa bijaksana
Allah swt dalam mendidik hamba-hambanya dan betapa meruginya diri ini jika banyakmengeluh dan merasa menderita.(http://manajemenqolbu.com)***
adisthea@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar