Jakarta diguyur hujan, jalanan basah. Suasana pagi kelam diwarnai macet jalanan oleh orang-orang yang berangkat kerja. Di setiap halte dan beberapa emperan perkantoran, tampak tubuh-tubuh kecil dengan baju yang basah kuyup. Padahal di tangannya yang kurus terpegang sebuah payung besar, lebih dari cukup untuk melindungi tubuhnya. Namun payung tersebut tidak terkembang. Setiap saat anak-anak tersebut mengacungkan payung kepada mereka yang baru turun dari bus atau mobil.
Satu demi satu lelaki maupun perempuan yang berjas, berdasi maupun blazer melintasi jalan dengan pemandangan khas. Mereka menapakkan kaki hati-hati seakan takut air yang kotor menodai pakaian mereka yang bersih dan licin di bawah payung lebar, sementara di sisinya atau di belakang si bocah mengikuti. Tanpa payung, bermandikan hujan! Mereka adalah bocah-bocah yang baru berumur 10 tahun ke bawah. Dengan kaos oblong yang sudah tidak jelas warnanya, lengket di tubuh karena air hujan.
Sebuah tanya terlintas, siapa bocah malang tersebut? Di pagi hari di mana anak-anak lain berangkat sekolah menenteng tas dan bekal, mereka hanya menenteng sebuah payung besar. Ketika sebagian yang lain tinggal di rumah bergelung selimut tebal, ditemani makanan dan minuman hangat, tubuh mereka menggigil kedinginan dengan perut yang keroncongan. Di manakah ayah-bunda mereka berada?
Beberapa hari lalu, ketika siang di Jakarta bermandikan cahaya matahari yang bersinar terik, saya naik bus kota. Bus penuh sesak. Di antara deru bus dan himpitan penumpang tampak seorang bocah yang berusaha menyalip tubuh-tubuh besar di sekitarnya. Bocah usia enam tahunan tersebut bermata bening, dengan penampilan yang lusuh dan kotor. Dengan krecekan dari tutup botol dan suara cadelnya yang cempreng, ia menyanyi.
Usai satu lagu, tangan kurus tersebut mengulurkan bungkus plastik bekas permen yang kosong. Mengharapkan kepingan logam dari penumpang yang entah mendengarkan atau tidak. Nampaknya tidak banyak keping yang berhasil ia kumpulkan. Kemudian dengan lincah tubuh mungil tersebut menerobos pintu dan meloncat dari bus yang masih berjalan pelan tertahan macet jalanan. Di manakah ayah-bunda mereka?
Bagian lain Jakarta, keramaian pasar tradisional melahirkan suara hiruk-pikuk yang khas. Di sela kesibukan berbelanja, anak-anak usia belasan tahun mengulurkan tangan menawarkan jasa membawa belanjaan! Masih di bagian lain Jakarta, tampak anak-anak yang mengemis, menyemir, mengelap kaca mobil, menjual makanan, menjual Koran. Begitu mudah tertangkap mata pemandangan seperti itu di sebuah ibukota negeri bernama Jakarta.
Mereka masih terlalu muda, tapi kekerasan hidup telah menempa mereka menjadi pribadi yang lain. Bukan lagi dunia anak-anak yang diwarnai gelak tawa dan bermain. Melainkan sebuah aktivitas untuk mencari sesuap nasi. Sebuah dunia orang dewasa yang terlalu cepat mereka masuki.
Di mana busur -meminjam perumpamaan Khalil Gibran-- yang telah melesatkan anak panah tersebut? "Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur," kata Gibran. "Sebagaimana Dia mengasihi anak panah yang melesat, demikian pula Dia mengasihi busur nan mantap," demikian penggal puisi tentang anak yang ditulisnya.
Lalu, karena kurang mantapnya busur inikah, yang telah mengantarkan anak-anak tersebut ke gerbang yang belum saatnya mereka masuki? Padahal begitu masuk, hanya kerasnya hidup orang dewasa yang akan mereka rasakan. Sebagai anak panah, tentu mereka merindukan busur yang mantap yang akan mengantar mereka pada sasaran yang tepat dalam ukuran kemanusiaan. Sebuah keluarga dengan ayah-bunda yang penuh kehangatan dan rezeki yang cukup.
Bila ternyata panah itu meleset dari sasaran, adakah mereka berhak menyesali? Mengingkari :"…Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di rahim. Dan tiada seorang pun dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal" (QS. Luqman : 34).
Mereka yang terlahir dari rahim yang kurang beruntung adalah anak-anak masyarakat. Semestinya ada tangan-tangan yang terulur untuk membantu mereka. Tetapi di zaman ini orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan kepompongnya sendiri. Dan anak-anak itupun diserahkan kepada jalanan sebagai kepompongnya.
Semoga saya dan Anda tidak termasuk mereka yang dimaksudkan QS. Luqman: 18 : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Naudzubillahi min dzalik, semoga Allah melindungi kita, melindungi anak-anak kita, melindungi anak-anak zaman. Mari ulurkan tangan buat mereka. (Eva Deswenti dari Yayasan Martabat, Yayasan yang memberi santunan pendidikan bagi anak-anak dhuafa. yayasanmartabat@yahoo.com)
Yayasan Martabat
Jl. Kali Anyar II RT 008/ RW 001 No. 3
Kelurahan Kali Anyar, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat
Telp. (021) 6346954
Sumber : eramuslim.com
Kamis, 29 Maret 2007
AYAH, ANAK DAN BURUNG GAGAK
Pada suatu sore seorang ayah bersama anaknya yang baru saja menamatkan pendidikan tinggi duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di sekitar mereka.
Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menunjuk ke arah gagak sambil bertanya, "Nak, apakah benda tersebut?"
"Burung gagak", jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun beberapa saat kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi lalu menjawab dengan sedikit keras, "Itu burung gagak ayah!"
Tetapi sejenak kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak marah dengan pertanyaan yang sama dan diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih keras, "BURUNG GAGAK!!"
Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi mengajukan pertanyaan yang sama sehingga membuatkan si anak kehilangan kesabaran dan menjawab dengan nada yang ogah-ogahan menjawab pertanyaan si ayah, "Gagak ayah.......".
Tetapi kembali mengejutkan si anak, beberapa saat kemudian si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanyakan pertanyaan yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar kehilangan kesabaran dan menjadi marah. "Ayah!!! saya tidak mengerti ayah mengerti atau tidak. Tapi sudah lima kali ayah menanyakan pertanyaan tersebut dan sayapun sudah memberikan jawabannya.
Apakah yang ayah ingin saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak ayah.....", kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah kemudian bangkit menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang terheran-heran. Sebentar kemudian si ayah keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih marah dan bertanya-tanya. Ternyata benda tersebut sebuah diari lama.
"Coba kau baca apa yang pernah ayah tulis di dalam diari itu", pinta si ayah.
Si anak taat dan membaca bagian yang berikut..........
"Hari ini aku di halaman bersama anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, "Ayah, apakah itu?". Dan aku menjawab, "Burung gagak". Walau bagaimana pun, anak ku terus bertanya pertanyaan yang sama dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sampai 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayang aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap bahwa hal tersebut menjadi suatu pendidikan yang berharga."
Setelah selesai membaca bagian tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si ayah yang kelihatan sayu. Si ayah dengan perlahan bersuara, " Hari ini ayah baru menanyakan kepadamu pertanyaan yang sama sebanyak lima kali, dan kau telah kehilangan kesabaran dan marah."
HIKMAH : JAGALAH HATI KEDUA IBU DAN BAPA, HORMATILAH MEREKA.
SAYANGILAH MEREKA SEBAGAI MANA MEREKA MENYAYANGIMU DIWAKTU KECIL
Tiba-tiba seekor burung gagak hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menunjuk ke arah gagak sambil bertanya, "Nak, apakah benda tersebut?"
"Burung gagak", jawab si anak.
Si ayah mengangguk-angguk, namun beberapa saat kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi lalu menjawab dengan sedikit keras, "Itu burung gagak ayah!"
Tetapi sejenak kemudian si ayah bertanya lagi pertanyaan yang sama. Si anak merasa agak marah dengan pertanyaan yang sama dan diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih keras, "BURUNG GAGAK!!"
Si ayah terdiam seketika. Namun tidak lama kemudian sekali lagi mengajukan pertanyaan yang sama sehingga membuatkan si anak kehilangan kesabaran dan menjawab dengan nada yang ogah-ogahan menjawab pertanyaan si ayah, "Gagak ayah.......".
Tetapi kembali mengejutkan si anak, beberapa saat kemudian si ayah sekali lagi membuka mulut hanya untuk bertanyakan pertanyaan yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar kehilangan kesabaran dan menjadi marah. "Ayah!!! saya tidak mengerti ayah mengerti atau tidak. Tapi sudah lima kali ayah menanyakan pertanyaan tersebut dan sayapun sudah memberikan jawabannya.
Apakah yang ayah ingin saya katakan???? Itu burung gagak, burung gagak ayah.....", kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Si ayah kemudian bangkit menuju ke dalam rumah meninggalkan si anak yang terheran-heran. Sebentar kemudian si ayah keluar lagi dengan membawa sesuatu di tangannya. Dia mengulurkan benda itu kepada anaknya yang masih marah dan bertanya-tanya. Ternyata benda tersebut sebuah diari lama.
"Coba kau baca apa yang pernah ayah tulis di dalam diari itu", pinta si ayah.
Si anak taat dan membaca bagian yang berikut..........
"Hari ini aku di halaman bersama anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya, "Ayah, apakah itu?". Dan aku menjawab, "Burung gagak". Walau bagaimana pun, anak ku terus bertanya pertanyaan yang sama dan setiap kali aku menjawab dengan jawaban yang sama. Sampai 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa cinta dan sayang aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya. Aku berharap bahwa hal tersebut menjadi suatu pendidikan yang berharga."
Setelah selesai membaca bagian tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si ayah yang kelihatan sayu. Si ayah dengan perlahan bersuara, " Hari ini ayah baru menanyakan kepadamu pertanyaan yang sama sebanyak lima kali, dan kau telah kehilangan kesabaran dan marah."
HIKMAH : JAGALAH HATI KEDUA IBU DAN BAPA, HORMATILAH MEREKA.
SAYANGILAH MEREKA SEBAGAI MANA MEREKA MENYAYANGIMU DIWAKTU KECIL
TUJUH KEAJAIBAN DUNIA
Sekelompok siswa kelas geografi sedang mempelajari "Tujuh
Keajaiban Dunia." Pada awal dari pelajaran, mereka diminta
untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan "Tujuh
Keajaiban Dunia" saat ini. Walaupun ada beberapa ketidak-
sesuaian, sebagian besar daftar berisi;
1) Piramida
2) Taj Mahal
3) Tembok Besar Cina
4) Menara Pisa
5) Kuil Angkor
6) Menara Eiffel
7) Kuil Parthenon
Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan
seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum
mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya
kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya.
dey_ang (9:50:59 AM): Gadis pendiam itu menjawab, "Ya, sedikit.
Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya." Sang guru
berkata, "Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan
mungkin kami bisa membantu memilihnya."
Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, "Saya pikir, "Tujuh
Keajaiban Dunia" adalah,
1) Bisa melihat,
2) Bisa mendengar,
3) Bisa menyentuh,
4) Bisa menyayangi,
Dia ragu lagi sebentar, dan kemudian melanjutkan,
5) Bisa merasakan,
6) Bisa tertawa,
7) Dan, bisa mencintai
Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi
kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya
"keajaiban". Sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan
karuniakan untuk kita, kita menyebutnya sebagai "biasa".
Semoga anda hari ini diingatkan tentang segala hal
yang betul-betul ajaib dalam kehidupan anda.
Keajaiban Dunia." Pada awal dari pelajaran, mereka diminta
untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan "Tujuh
Keajaiban Dunia" saat ini. Walaupun ada beberapa ketidak-
sesuaian, sebagian besar daftar berisi;
1) Piramida
2) Taj Mahal
3) Tembok Besar Cina
4) Menara Pisa
5) Kuil Angkor
6) Menara Eiffel
7) Kuil Parthenon
Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan
seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum
mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya
kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya.
dey_ang (9:50:59 AM): Gadis pendiam itu menjawab, "Ya, sedikit.
Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya." Sang guru
berkata, "Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan
mungkin kami bisa membantu memilihnya."
Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, "Saya pikir, "Tujuh
Keajaiban Dunia" adalah,
1) Bisa melihat,
2) Bisa mendengar,
3) Bisa menyentuh,
4) Bisa menyayangi,
Dia ragu lagi sebentar, dan kemudian melanjutkan,
5) Bisa merasakan,
6) Bisa tertawa,
7) Dan, bisa mencintai
Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi
kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya
"keajaiban". Sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan
karuniakan untuk kita, kita menyebutnya sebagai "biasa".
Semoga anda hari ini diingatkan tentang segala hal
yang betul-betul ajaib dalam kehidupan anda.
Senin, 06 Maret 2006
Bersiasat dengan Upah Rp 9.000 per Hari di Istana
Rodian Hamzah (22) dan Dede Munandar (18) bergegas berdiri mengambil sepatu bot di gudang yang sebelumnya dikenakannya. Mengenakan kaus lengan panjang biru yang lusuh, mereka mengambil sapu lidi dan keranjang sampah untuk melanjutkan pekerjaan membersihkan halaman dan taman Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (2/3).Waktu istirahat sudah habis. Sekarang kami mau mbersihin sampah taman lagi, ujar
Selasa, 28 Februari 2006
Saat Anak Berhenti Tersenyum
BELAKANGAN ini, pelecehan dan kekerasan seakan menjadi bahasa sehari-hari yang sering kita dengar di media massa. Bagi Anda yang menyayangi anak-anak, ketika mendengar kata pelecehan dan kekerasan pada anak-anak, mungkin Anda langsung membayangkan tentang caci maki, pelecehan seksual, dan kekerasan fisik pada anak.Pada kenyataannya, pelecehan pada anak-anak tidak hanya sebatas itu, pelecehan
Jumat, 24 Februari 2006
Bantulah Aku Mengobatkan Anakku
Siti Aminah (22) mengaku kerap termangu menyaksikan berbagai acara di televisi kreditannya. Acara televisi yang belakangan banyak menyorot kesusahan orang miskin membuat angannya melayang. Mimin, panggilannya, berharap sekali suatu saat anaknya yang telah bertahun-tahun mengidap hydrocephalus dapat tertolong melalui acara serupa.Buah hati pertamanya, Ahmad Irvan (4), mengidap hydrocephalus sejak
Sabtu, 21 Januari 2006
Taman Yang Paling Indah Hanya Taman Kami
- untuk RRAllah yang baik,senang deh aku sudah di sinitak ada lagi mama yang galakdan paman yang sering membentakAllah yang baik,bolehkah aku bergabungdengan teman-temanku di sebelah sanayang sedang menyanyi gembira,"taman yang paling indah hanya taman kami..."aku suka sekali lagu itutapi tak pernah bisa menyanyikannya sepenuh hatikarena sebelum ini,aku hanya bisa mendengar lagu itudari balik
Langganan:
Postingan (Atom)