Kamis, 29 Maret 2007

ANAK-ANAK DALAM KEPOMPONG JALANAN

Jakarta diguyur hujan, jalanan basah. Suasana pagi kelam diwarnai macet jalanan oleh orang-orang yang berangkat kerja. Di setiap halte dan beberapa emperan perkantoran, tampak tubuh-tubuh kecil dengan baju yang basah kuyup. Padahal di tangannya yang kurus terpegang sebuah payung besar, lebih dari cukup untuk melindungi tubuhnya. Namun payung tersebut tidak terkembang. Setiap saat anak-anak tersebut mengacungkan payung kepada mereka yang baru turun dari bus atau mobil.

Satu demi satu lelaki maupun perempuan yang berjas, berdasi maupun blazer melintasi jalan dengan pemandangan khas. Mereka menapakkan kaki hati-hati seakan takut air yang kotor menodai pakaian mereka yang bersih dan licin di bawah payung lebar, sementara di sisinya atau di belakang si bocah mengikuti. Tanpa payung, bermandikan hujan! Mereka adalah bocah-bocah yang baru berumur 10 tahun ke bawah. Dengan kaos oblong yang sudah tidak jelas warnanya, lengket di tubuh karena air hujan.

Sebuah tanya terlintas, siapa bocah malang tersebut? Di pagi hari di mana anak-anak lain berangkat sekolah menenteng tas dan bekal, mereka hanya menenteng sebuah payung besar. Ketika sebagian yang lain tinggal di rumah bergelung selimut tebal, ditemani makanan dan minuman hangat, tubuh mereka menggigil kedinginan dengan perut yang keroncongan. Di manakah ayah-bunda mereka berada?

Beberapa hari lalu, ketika siang di Jakarta bermandikan cahaya matahari yang bersinar terik, saya naik bus kota. Bus penuh sesak. Di antara deru bus dan himpitan penumpang tampak seorang bocah yang berusaha menyalip tubuh-tubuh besar di sekitarnya. Bocah usia enam tahunan tersebut bermata bening, dengan penampilan yang lusuh dan kotor. Dengan krecekan dari tutup botol dan suara cadelnya yang cempreng, ia menyanyi.

Usai satu lagu, tangan kurus tersebut mengulurkan bungkus plastik bekas permen yang kosong. Mengharapkan kepingan logam dari penumpang yang entah mendengarkan atau tidak. Nampaknya tidak banyak keping yang berhasil ia kumpulkan. Kemudian dengan lincah tubuh mungil tersebut menerobos pintu dan meloncat dari bus yang masih berjalan pelan tertahan macet jalanan. Di manakah ayah-bunda mereka?

Bagian lain Jakarta, keramaian pasar tradisional melahirkan suara hiruk-pikuk yang khas. Di sela kesibukan berbelanja, anak-anak usia belasan tahun mengulurkan tangan menawarkan jasa membawa belanjaan! Masih di bagian lain Jakarta, tampak anak-anak yang mengemis, menyemir, mengelap kaca mobil, menjual makanan, menjual Koran. Begitu mudah tertangkap mata pemandangan seperti itu di sebuah ibukota negeri bernama Jakarta.

Mereka masih terlalu muda, tapi kekerasan hidup telah menempa mereka menjadi pribadi yang lain. Bukan lagi dunia anak-anak yang diwarnai gelak tawa dan bermain. Melainkan sebuah aktivitas untuk mencari sesuap nasi. Sebuah dunia orang dewasa yang terlalu cepat mereka masuki.

Di mana busur -meminjam perumpamaan Khalil Gibran-- yang telah melesatkan anak panah tersebut? "Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur," kata Gibran. "Sebagaimana Dia mengasihi anak panah yang melesat, demikian pula Dia mengasihi busur nan mantap," demikian penggal puisi tentang anak yang ditulisnya.

Lalu, karena kurang mantapnya busur inikah, yang telah mengantarkan anak-anak tersebut ke gerbang yang belum saatnya mereka masuki? Padahal begitu masuk, hanya kerasnya hidup orang dewasa yang akan mereka rasakan. Sebagai anak panah, tentu mereka merindukan busur yang mantap yang akan mengantar mereka pada sasaran yang tepat dalam ukuran kemanusiaan. Sebuah keluarga dengan ayah-bunda yang penuh kehangatan dan rezeki yang cukup.

Bila ternyata panah itu meleset dari sasaran, adakah mereka berhak menyesali? Mengingkari :"…Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di rahim. Dan tiada seorang pun dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal" (QS. Luqman : 34).

Mereka yang terlahir dari rahim yang kurang beruntung adalah anak-anak masyarakat. Semestinya ada tangan-tangan yang terulur untuk membantu mereka. Tetapi di zaman ini orang-orang dewasa terlalu sibuk dengan kepompongnya sendiri. Dan anak-anak itupun diserahkan kepada jalanan sebagai kepompongnya.

Semoga saya dan Anda tidak termasuk mereka yang dimaksudkan QS. Luqman: 18 : "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Naudzubillahi min dzalik, semoga Allah melindungi kita, melindungi anak-anak kita, melindungi anak-anak zaman. Mari ulurkan tangan buat mereka. (Eva Deswenti dari Yayasan Martabat, Yayasan yang memberi santunan pendidikan bagi anak-anak dhuafa. yayasanmartabat@yahoo.com)

Yayasan Martabat
Jl. Kali Anyar II RT 008/ RW 001 No. 3
Kelurahan Kali Anyar, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat
Telp. (021) 6346954

Sumber : eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar