Tampilkan postingan dengan label senyum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label senyum. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Juni 2013

Tipe Manakah Anda?

Ini adalah sebuah cerita tentang pentingnya berpikir positif jika menghadapi masalah.

Suatu ketika seorang anak perempuan mengeluh pada ayahnya bahwa hidupnya sangat susah dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Ia merasa lelah menghadapi sulitnya hidup yang dijalaninya dan tampaknya masalah selalu datang bertubi-tubi, selesai satu masalah, datang masalah yang lain lagi.

Sang ayah yang seorang koki kemudian mengajaknya ke dapur. Ia mengambil tiga buah panci dan mengisinya dengan air serta meletakkannya di atas api. Setelah ketiga panci mulai mendidih ia meletakkan sebuah kentang ke dalam panci pertama, telur pada paci ke dua dan biji kopi di panci ke tiga.

Sang ayah kemudian duduk dan diam menunggu tanpa mengucap satu katapun pada putrinya.

Putrinya yang tak sabar dengan apa yang dilakukan ayahnya mengeluh, tampak gusar dan gelisah sambil bertanya dalam hatinya, "apa yang akan dilakukan ayah?"

Setelah kurang lebih dua puluh menit berlalu, sang ayah mematikan kompor. Dia mengambil kentang dari panci dan meletakkannya dalam mangkok. Lalu mengambil telur dan meletakkanya dalam mangkuk yang lain. Dia kemudian menyendok kopi dan menuangkannya dalam sebuah cangkir.

Pandangan sang ayah beralih pada putrinya dan ia bertanya, "Putriku, apa yang kamu lihat?"

"Kentang, telur dan kopi," jawab putrinya dengan terburu-buru dan setengah hati.

"Lihat lebih dekat", kata sang ayah, "cobalah untuk menyentuhnya."

Dia melakukan dan menyadari bahwa kentangnya telah berubah menjadi lembut. Sang ayah kemudian memintanya untuk mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya, ia mengamati telur rebus. Akhirnya, sang ayah memintanya untuk mencicipi kopi dalam gelas dan tercium aroma yang harum dan membuat anak perempuan tersebut tersenyum pada ayahnya.

"Ayah, apa artinya ini semua?" tanyanya.





Sang ayah kemudian menjelaskan bahwa kentang, telur dan biji kopi memiliki masing-masing menghadapi kesulitan pada air mendidih. Namun, masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Kentang yang keras saat dimasukkan tetapi dalam air mendidih, menjadi lunak dan lembut.

Telur itu rapuh, dengan kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya saat dimasukkan ke dalam air mendidih bagian dalam telur menjadi keras.

Namun, biji kopi yang unik. Setelah mereka terkena air mendidih, biji tersebut mengubah warna air dan menciptakan sesuatu yang baru.

"Yang manakah dirimu?" tanya ayah pada putrinya. "Ketika kesulitan menderamu, bagaimana kamu menyikapinya? Apakah kamu seperti sebuah kentang, telur, atau kopi?"

Dalam kehidupan, banyak hal terjadi di sekitar kita. Tetapi satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah apa yang terjadi dalam diri kita.

Tipe yang manakah Anda? Ketika datang sebuah masalah (dan akan datang masalah yang lain lagi) bagaimana kita bereaksi? Apakah problema yang datang akan membuat kita lemah, keras hati atau menyebabkan kita berubah menjadi sesuatu yang berharga?

Sebuah pelajaran berharga: "Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang Anda temukan, itu adalah sesuatu yang Anda buat."

Kutipan Inspiratif: "Senyum dalam kenikmatan, senyum kesakitan, Tersenyumlah saat kesulitan mendera seperti hujan, Senyum ketika seseorang menyakiti Anda, Tersenyumlah karena seseorang pasti peduli pada Anda."

Senin, 26 Maret 2012

Tersenyumlah dengan Hatimu


Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya di sebuah Universitas di Jerman. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka.

Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah. Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus.

Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” kearah saya.

Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima ‘kehadirannya’ ditempat itu.Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya.





Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu).

Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan. Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu-tamu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah. Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya.

Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.” Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.”

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.” Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak.

Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu. Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-anakku! ” Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap “Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.” Saya hanya bisa berucap “terima kasih” sambil tersenyum.

Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikkan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya.

Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini ditangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya.

Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya. Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya .

“Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: “PENERIMAAN TANPA SYARAT.” Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Source : Someone