Tampilkan postingan dengan label kue. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kue. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Mei 2011

Ibu & Sepotong Kue


Seorang anak ditanya ibu gurunya di sekolah tentang sebuah soal matematika,

ibuguru : "seandai nya dirumah kamu ada 5 orang...kamu,adikmu,kakakmu,abangmu dan ibumu... lalu ibumu punya satu kue... jika ingin dibagi rata, berapa bagian kue yang kamu dapat ???"

murid : "seperempat bu..."

ibuguru : "coba kamu hitung baik2..."

Setelah ia menghitung ulang iapun menjawab,

murid : "iya bu seperempat..."

ibuguru : "kamu yakin?? coba hitung sekali lagi..."

setelah ia menghitung ulang untuk kedua kali nya, ia pun berkata,

murid : "benar bu seperempat..."

ibuguru : "begini cara hitungnya... dirumah kamu kan ada 5 orang sedangkan kue nya cuma ada satu... jadi satu dibagi lima sama dengan seperlima..."

murid : "maaf bu, tapi ibu saya selalu rela memberikan bagiannya untuk kami supaya kami tidak kelaparan..."

ibu guru pun terdiam, tak mampu berkata apa-apa

Rabu, 20 April 2011

Anak Kecil Penjual Kue

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan.

Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?" Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".

Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dek saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda.

Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".

Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.

Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. "Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja. "Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta.

Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain. "Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?".

Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".





Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang.

Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan", ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.

Hikmah & Pelajaran yang dapat diambil:
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita menjadi "hijau" karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki.
Sekecil apapun profesi itu, kalau kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berarti besar

Minggu, 17 Januari 2010

Menjemput Rezeki

Setengah jam menjelang adzan Dzuhur, dari kejauhan mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan langka yang menjadi kegemaran saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi, terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan. Nikmat, pasti.

Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut. "Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi," akunya kepada saya yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan jajanan masa kecil ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau pun ada sangat sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara arang sebagai pemanasnya.

Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk membeli kuenya. "Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah berkeliling," iba saya sambil menaksir usianya yang sudah di atas angka enam puluh. "Saya nggak pernah tahu dimana Allah menurunkan rezeki, jadi saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rezeki itu memang bukan ditunggu, harus dijemput. Karena rezeki nggak ada yang nganterin," jawabnya panjang.

Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi sebagian orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa didapat. Beruntung saya bisa berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan petuah yang saya tidak memintanya, tapi itu sungguh penuh makna.

"Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya, dan jika kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah mempertemukan kita dengan rezeki di depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal kita nanti," lagi sebaris kalimat meluncur deras meski parau terdengar suaranya.

"Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul dagangan ini?" pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, "Pundak ini, juga tapak kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya tak pernah menyerah menjemput rezeki."
Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue rangi berbangga memiliki lelaki penjemput rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam menjemput rezeki. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan. Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.
**
Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya melainkan juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak sekadar nikmat dan murah, tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu semakin lezat dengan kata-kata hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar untuk setiap petuahnya itu.