Selasa, 30 Maret 2010

Mandikan Aku Bunda

Di bawah ini adalah salah satu contoh tragis. Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya .....

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.


Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.





Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.

Semoga yang membacanya bisa mengambil makna yang terkandung dalam kisah tsb

Minggu, 21 Maret 2010

Persiapan Awal - Ujian Nasional - Part I


Bangun pagi, shalat malam, belajar dengan semangat. Sepertinya jarang kita lakukan disaat kita merasakan kesenangan masa remaja. Kala akan menghadapi Ujian Nasional, hal yang dahulu dianggap membosankan dan malas dikerjakan seakan menjadi rutinitas yang telah kita kerjakan selama beberapa tahun silam.

Itulah namanya "MENUNGSO" (bahasa Jawa dari Manusia), yang berarti "Menus-menus Kakean Duso, Lek Mboten Butuh Mboten Moro" dalam bahasa Indonesia bermakna bahwa, seorang manusia yang tak pernah luput dari dosa, dan akan baru mau berusaha dan berdo'a kepada Sang Maha Kuasa jikalau sedang butuh.

Seperti yang saya dan anda lakukan saat ini.. :)

Ini semua bukan merupakan hal yang salah, ini bahkan lebih baik daripada tidak melakukan hal sama sekali.

Kerap kali, seorang siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional merasa tidak percaya diri, takut dan grogi, meskipun sudah belajar dan berdoa. Sehingga timbul pemikiran untuk melakukan jalan pintas, seperti mencari kunci jawaban, mempersiapkan strategi "mencontek" yang ampuh untuk menghadapi medan perang nanti dan lain sebagainya.

Itu semua tak perlu dilakukan, yang perlu kita renungkan adalah parikan (pantun Bahasa Jawa) berikut :

Tuku roti ning prapatan
Ketemu banci nyemplung kali
Sing arep ujian ojo wedi
Ayo podho ngaji marang Gusti

Artinya:
beli roti di perempatan jalan
bertemu banci di kali/sungai
yang mau ujian jangan takut
mari bersama berdoa' dan pasrah kepada Tuhan

Apa maknanya? Bukan hanya sekedar lelucon, tapi isi dari parikan (pantun) ini mengajak semua orang untuk senantiasa bergembira dalam menghadapi segala ujian, dan pasrah kepada Tuhan atas apa yang telah kita lakukan. Dan yakin, bahwa Tuhan pasti akan memberikan hasil yang terbaik jika kita berbuat baik pula.

Sekarang tugas kita hanyalah mengerjakan soal Ujian dengan penuh hati-hati, tenang dan penuh kosentrasi. Ada yang bilang bahwa otak manusia hanya mampu berkosentrasi penuh selama 15 - 30 menit saja. Jadi, waktu mengerjakan soal, beri jeda (waktu istirahat) jika pikiran kita mulai tak fokus.

Misalnya dengan cara mengerjakan soal secara bertahap, lima soal berhenti, sekedar tarik nafas, membetulkan posisi duduk, atau lihat suasana kelas. Lanjutkan lima soal lagi, berhenti sejenak dan seterusnya. Saya yakin ini tak akan menyita waktu, karena dengan beristirahat sejenak, kita membuat otak kita kembali fresh sehingga untuk mengerjakan soal berikutnya akan terasa lebih ringan dan cepat. KArena otak kita akan bekerja dan berjalan secara stabil

Berbeda jika kita mengerjakan soal secara terus menerus, itu akan menguras kosentrasi, tak ada proses pemulihan, dan membuat kita jenuh.

Tunggu ulasan berikutnya di Inspirasi Pemuda mengenai Ujian Nasional, dan semoga semua bermanfaat.